Eyes

Cumiplutoo
Chapter #18

Chapter 17

Jimmy menatap nanar area taman yang terletak tepat di bawah sana. Ia kini tengah duduk menyamping di kursi milik Khaira. Tak heran jika anak itu dulu begitu betah duduk di tempat tersebut. Karena dari sana, ia bisa melihat taman sekolah dengan leluasa. Belum lagi Khaira juga bisa melihat pemandangan rumah kaca yang dikelilingi bunga warna-warni. Bukan hanya Khaira, Jimmy pun sepertinya mulai tak bisa lepas dari rasa nyaman bangku tersebut. 

Sekali helaan, dua kali helaan, hingga kali ketiga Jimmy menghela napas, perasaannya belum juga tenang. Arloji di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore hari, yang mana membuat tempat tersebut mulai sepi penghuni. 

Sudah lima belas menit sejak siswa terakhir yang Jimmy lihat melewati gerbang, tapi Jimmy sendiri masih diam seolah tak mau pulang. 

Tepatnya belum. Ia sedang menunggu seseorang. 

Hilya. 

Tok!

Tok!

Tok!

Jimmy segera mengalihkan pandangannya begitu suara ketukan pintu terdengar. 

“Bisakah kau mengambilkan buku sejarahku di meja guru?”

Namun sialnya, dia bukan Hilya. 

Dengan sedikit ogah-ogahan, Jimmy pun mengangguk dan berjalan menuju meja guru untuk sebuah buku sejarah yang diminta temannya. 

“Terima kasih,” ucap siswa tersebut. 

Merasa telah terlalu lama menunggu, Jimmy pun ikut mengekor teman sekelasnya itu menuju keluar gedung sekolah. Pemuda itu berjalan susah payah, rasanya sebagian dari hatinya masih enggan melangkah. Namun dari sisi yang lain, Jimmy mulai lelah menanti sesuatu yang tak pasti. 

Jimmy sendiri yang bodoh, ia tidak berani menghubungi Hilya langsung dan menyampaikan pesan pada salah satu adik kelasnya, tanpa tahu kepastian dari Hilya. 

Namun ketidakpastian itu akhirnya terbayar begitu ia berbelok ke koridor kelas satu sebelum benar-benar keluar dari gedung sekolah. Dari tempatnya berdiri sekarang, Jimmy bisa melihat raut wajah Hilya yang terkejut. Sama sepertinya, mungkin Hilya juga tak menyangka mereka akan bertemu seperti ini. 

Jimmy dan Hilya saling melempar pandangan, walau keduanya sama-sama diam, tatapan mata dua sejoli itu telah banyak bicara satu sama lain tentang kegundahan hati keduanya, tentang semua keluh kesah yang mereka rasakan. 

Jimmy yang memulai terlebih dahulu saat itu. Ia berjalan tanpa ragu ke arah Hilya yang masih berdiri kaku. 

“Maaf,” ucap Jimmy pelan memecah hening yang mereka ciptakan begitu jarak keduanya tak lagi terlalu jauh. 

Hilya menggeleng pelan. Ia mendekat, koridor sekolah yang sepi dan berangin lembut membuat Hilya merasakan ketenangan melingkupi hati dan pikirannya. Ia memang sudah berencana akan mengabaikan Jimmy dan pesan aneh yang di sampaikan oleh temannya.

Jika diingat-ingat Hilya terlalu malu untuk kembali bertatap muka dengan Jimmy atau siapa pun yang berhubungan dengan Khaira dan Felix. Namun begitu ingat satu hal dalam buku jurnal yang Khaira tulis, Hilya perlahan mulai kembali mengisi rasa percaya dirinya. 

“Aku yang harusnya meminta maaf. Kalau bukan karena aku dan kakakku, mungkin Kak Khai dan Kak Felix tidak akan seperti ini.” 

Kepala Jimmy yang awalnya menunduk kini terangkat. “Khai melakukan semuanya dengan sangat baik, bukan?” 

Jimmy tak pernah mengerti dengan apa yang ada di dalam otak Khaira selama ini. Tapi sejak kejadian kemarin, Jimmy mulai berpikir dan mencoba menelaah semuanya dari sudut pandang sahabatnya itu. Hasilnya ia hanya bisa menangkap satu hal. 

Khai, dia hidup dengan segala kelebihan. Dia pintar, keluarganya terpandang juga kaya raya. Namun yang selalu Jimmy dengar adalah keresahannya akan sebuah kasih sayang. Dia jelas tidak bahagia. Oleh karena itu ia melakukan semua ini. 

Khaira tidak mau orang-orang yang ada di dekatnya merasakan apa yang selama ini ia rasakan. 

Khaira menjadi orang yang selalu ada di dekat Felix seburuk apa pun prilakunya dulu karena ia tahu, Felix tak punya siapa-siapa lagi sejak ayah dan ibunya sering pergi dan bertengkar hebat jika bertemu. Khaira yang selalu mendukung Jimmy apa pun caranya, karena tahu Jimmy sebenarnya tak lebih dari seorang pecundang yang membutuhkan dorongan agar bergerak maju. 

Jimmy mengenal dirinya dengan baik. Tapi Khaira lebih dari itu. Ia bisa tahu apa yang dibutuhkannya tanpa harus Jimmy bicara. 

Tapi beberapa hari yang lalu, Jimmy berniat mengacaukan semuanya. Jimmy salah jika berpikir melepas Hilya adalah caranya menghukum diri sendiri. Ini yang Khaira mau, ini yang Khaira perjuangkan, ini yang Khaira berikan pada Jimmy dengan setulus hatinya dan Jimmy mau menyerah?

Bodoh. 

Maka sekarang, Jimmy ada di sini untuk memperbaiki semua yang hendak ia hancurkan. Ia sengaja membawa Hilya untuk memperjelas semuanya. Semua kesalahpahaman ini harus segera diselesaikan sebelum mereka kembali kehilangan. 

Hilya tetap diam di tempatnya sampai Jimmy ikut mendekat dan meraih tangannya lembut. 

“Aku sempat akan menyerah untuk bersamamu, tapi mengingat bagaimana Khai berjuang sendirian untuk kita, aku merasa aku benar-benar bodoh jika harus membiarkanmu pergi.” 

Jimmy mempererat genggaman tangannya. Walau ia merasa keterlaluan karena             ingin mengungkapkan perasaannya ketika keadaan sedang buruk seperti sekarang. Namun pikirnya, satu keinginan Khaira supaya Jimmy dan Hilya bersatu bisa terwujud. 

“Maka aku ingin kau bersamaku selamanya.” 

“Kau melakukannya untukku kan, Kak? Jika karena Kak Khai, aku sarankan jangan.” Hilya melepas genggaman tangan Jimmy dengan pelan. Hilya hanya tidak mau perasaan yang Jimmy janjikan hanya beralaskan perasaan menyesal kepada Khaira. 

Namun buru-buru Jimmy urungkan. “Tidak, aku melakukannya karena dari awal aku memang mencintaimu. Aku tak peduli jika akhirnya kau juga akan ikut pergi, tapi yang jelas aku telah melakukannya sampai akhir. Aku telah mengatakannya kepadamu.” 

“Aku hanya takut Kakak melakukan ini semua karena Kak Khai. Aku takut pada perasaanmu itu.” Hilya mulai menunduk, rasa percayanya memudar kembali. Ia benar-benar merasa terombang-ambing, kadang kuat, tapi tak jarang begitu lemah. 

“Hilya.” Kali ini tangan Jimmy merambat naik ke pundak gadis itu. “Khai mendekatkanmu kepadaku karena dia mau. Dia sedang berusaha mendorongku karena aku tak bisa bergerak ke arahmu. Jika kau berpikir aku mendekatimu karena Khaira, kau salah besar. Karena nyatanya, aku memang ingin ada di jarak sedekat ini bersamamu. Jangan tinggalkan aku, aku juga akan tetap di sini, di sisiku.” 

Hilya menunduk, menyembunyikan raut wajahnya yang mulai memerah. Jimmy sudah mengakui perasaannya di depan Hilya, membuat perasaan di dalam hatinya bersemarak. 

“Aku ...” Hilya menggigit kecil bibirnya ragu. “Aku juga, tidak mau kehilangan Kak Jim.” Ia mendongak dan mendapati binar di kedua mata indah milik Jimmy. “Kalau Kak Khai di sini, dia pasti sangat bangga kepadamu. Karena sekarang, Kakak sudah berani mengungkapkan perasaanmu padaku.” 

Mendengar Hilya berkata demikian dengan suara yang bergetar, membuat Jimmy tak kuasa menahan diri untuk tidak memeluk Hilya. Membawa Hilya dalam sebuah kehangatan lain selain keluarganya. Juga membawa Jimmy pada sebuah babak baru yang lebih indah juga lebih pasti. 

Lihat selengkapnya