“Nak Ken?”
Kenan segera mengangkat kepalanya begitu seorang pria datang bersama dengan seorang petugas sipir ke arah meja panjang tempatnya duduk. Kenan dengan hormat menjabat tangan pria tersebut dan membiarkan pria itu duduk berhadap-hadapan dengannya begitu petugas yang mengantar pria tersebut menjauh guna memberi sedikit privasi pada mereka berdua.
“Bagaimana kabar Bapak?” tanya Kenan.
“Baik, aku sudah jauh lebih baik.”
Kenan mengangguk, ia tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari sosok di depannya ini. Ia sempat berpikir, mungkin jika ayahnya masih hidup, beliau akan seperti pria tersebut. Menua dengan gurat kelelahan yang kentara.
Pria itu tersenyum, “Jadi, kenapa Nak Ken kembali ke sini? Bukankah semua urusan telah selesai kemarin?”
Kenan kembali terdiam, bisa dibilang ini adalah salah satu hal terberat yang pernah Kenan alami. Pikirannya kosong, semua kata-kata yang telah ia kumpulan hilang begitu saja begitu ia bertatap muka dengan pria ini.
“Nak, apa terjadi sesuatu dengan Khaira?”
“Tidak.” Kenan mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan perkataannya, “Dia sudah sadar. Dia sudah jauh lebih baik.”
“Syukurlah kalau begitu.” Pria itu tersenyum seraya menepuk bahu Kenan. Namun apa yang dilakukannya justru membuat semua yang Kenan tahan tumpah ruah tak keruan. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu akhirnya menyerah, ia terisak kecil.
“Sebelumnya, saya minta maaf.” Kenan berkata dengan suara sumbangnya. Ia menatap pria itu dengan tatapan menyesal. “Saya tidak bisa menyelamatkan Felix. Saya menyesal karena kita tak bisa kembali berkumpul lagi dengannya.”
Tangis Kenan nyatanya menular. Dengan sedikit malu-malu, pria itu mengusap setitik air matanya.
Felix, anaknya. Anak yang tak pernah ia lihat keberadaannya, anak yang tak pernah mendapatkan kasih sayang darinya. Anaknya yang kini telah tiada.
Ia bodoh. Tak bisa dipungkiri kalau ia adalah ayah paling bodoh. Kepala keluarga yang tak memiliki tanggung jawab pada anak dan istrinya. Bahkan, salah satu dari mereka harus kehilangan nyawa karena ulahnya sendiri.
Masih sangat kental di ingatannya bagaimana malam kelabu itu bermula. Tamparan, cekikan, tendangan, tanpa sadar ia layangkan ketika semua emosinya menjadi satu. Pekerjaan yang tak kunjung selesai, juga istri yang kedapatan berkhianat membuatnya gelap mata.
Malam itu darah berceceran, jasad istrinya tergeletak begitu saja di ruang keluarga, sementara dirinya meremas rambutnya merasa bersalah. Ia tahu, ia tahu betul jika Felix melihat semuanya. Namun anak itu ketakutan, hingga ia membiarkan semua itu terjadi tanpa banyak bicara.
“Ayah,” ucapnya pelan. Tangan anak itu terkepal erat, buku-buku jarinya terlihat begitu putih, matanya menyala marah, namun redup kembali begitu ia berlutut di depan tubuh tak bernyawa ibunya. “Kenapa kau lakukan ini?”
Felix menangis. Itu adalah kali pertamanya ia melihat anak lelakinya menangis kencang sambil membawa tubuh ibunya yang penuh darah itu ke dalam pelukannya.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan diri pada polisi. Mereka datang pagi-pagi buta dengan sirene yang memekakkan telinga. Ia digiring menuju mobil polisi, sementara hilir mudik orang-orang tertinggal di belakangnya. Felix sendiri berdiri di depan pintu, menatap kepergiannya dengan wajah datar. Namun ia yakin, di balik semua ketidakpedulian Felix, anak itu memiliki luka yang bahkan lebih dalam darinya.
Sejak saat itu, setiap malam-malamnya yang sepi di rumah tahanan, ia selalu mencoba berpetualang di masa lalunya. Mengingat apa saja dosa yang ia perbuat pada keluarganya.
Keluarga mereka memang bukan keluarga yang akur. Terburu-buru menikah membuat semua ekspektasi yang ia dan pasangannya rancang terlalu melenceng dari realita yang ada. Mereka semakin menjauh, rusaknya karier sang istri berakibat pada kesengsaraan anak mereka. Felix selalu dianggap sebagai batu penghalang yang besar. Setiap hari, setiap malam setelah Felix lahir, tak pernah mereka lewati dengan damai.
Anak itu pada akhirnya tumbuh dengan pribadi yang keras dan sulit ditebak, mirip seperti hubungannya dan sang istri.
“Dia pasti bahagia dengan ibunya sekarang.”
Pria itu menatap nanar pada Kenan. Walau berkata seolah tegar, Kenan tahu betul bagaimana rasanya kehilangan seperti yang ayah Felix rasakan kini. Ia tahu, karena ia pernah mengalaminya.
“Aku terlalu banyak melukai hatinya, bahkan aku tak sanggup meminta maaf sebelum mereka berdua pergi. “
“Dia pasti memaafkan Anda. Dulu, saya pun pernah mengalami hal yang Anda alami. Mungkin bedanya saya lebih beruntung daripada Anda.” Kenan mulai bisa lugas berbicara, ia menatap mata ayah Felix dengan hangat, seolah sedang mengantarkan sebuah energi lain yang bisa menguatkannya.
“Mereka semua keluarga kita, Anda tetap ayahnya, seburuk apa pun Anda untuknya. Saya pun tetap menjadi kakak Khaira walau dulu saya pernah memperlakukannya dengan buruk. Mereka, punya hati yang sangat besar. Aku yakin Felix bukan anak yang seperti Anda pikirkan. Dia anak yang baik, dia pasti memaafkan Anda.”
Memaafkan memang bukan perkara mudah. Terlalu takut menyadari kesalahan yang kita perbuat kadang membuat kita enggan untuk meminta sebuah pengampunan. Ego yang tinggi, gengsi selangit, itu yang selalu menjadi batu besar sebuah permintaan maaf terucap, tapi apa yang terjadi jika semua kabut itu tak bisa berlalu dengan hanya mengandalkan harga diri semata. Seseorang perlu menekan dirinya ke titik yang paling rendah untuk bisa menebus dosanya. Dan itu yang kini sedang pria itu lakukan.
Ia siap merendah serendah-rendahnya untuk mendapatkan maaf dari orang tercintanya. Walau nyatanya sudah terlambat, tapi setidaknya ia tahu ia pernah berjuang.
“Saya tahu, di balik kerasnya sikap Felix, saya tahu kalau dia masih memiliki sedikit maaf untuk saya.”
“Anda orang tua yang hebat. Sangat berat kehilangan orang yang Anda sayangi, tapi Anda begitu tegar saat itu.”
Ayah Felix tersenyum, ia ingat hari itu akhirnya datang. Hari di mana Kenan menjemputnya dari rumah tahanan dan membawanya ke rumah sakit untuk menemui Felix. Anak itu sama sekali tak mau menatapnya, Felix terus terpejam sementara ia menangis di sampingnya.
Sampai satu waktu, ia berbalik dan bicara sesuatu di luar nalarnya.
“Ayah …” Suaranya begitu serak, seperti ada seonggok batu yang menghambat tenggorokannya. “Aku sudah lelah. Aku ingin bertemu Ibu, aku ingin tinggal dengannya,” kata Felix tersendat-sendat. Ia merasakan sakit di seluruh badannya. “Tapi sebelum aku pergi, izinkan aku memberikan semua yang aku punya untuk Khaira.”
Saat itu ayah Felix jelas menolak, ia tak mau menyianyiakan kesempatan anaknya untuk hidup kepada orang lain. Ia masih ingin memperbaiki semuanya dengan Felix, ia tak mau ditinggalkan.
Namun sorot mata Felix yang begitu kental dengan keinginan membuat pria itu akhirnya mengangguk. Ia menangis tersedu-sedu sebelum Felix dibawa. Dokter bilang semua tak akan bisa mudah dilewati, akan ada salah satu dari mereka yang tak bisa diselamatkan dan saat itu Felix sendiri memilih dirinya yang mundur. Sementara ayahnya hanya bisa diam menyetujui. Ia pikir mungkin ini yang terbaik, ia tidak pernah memberikan apa pun untuk anaknya, dan kini ia memiliki kesempatan untuk mengabulkan permintaan anaknya.