Eyes

Cumiplutoo
Chapter #20

Chapter 19

“Kriminal?” 

“Hm, katanya dia dikeluarkan dari sekolah karena membuat dua juniornya masuk rumah sakit dan yang paling parah, satu di antara mereka meninggal.” 

“Lalu kenapa dia malah diterima di sekolah kita?” 

“Yang kudengar, dia itu salah satu siswa paling cerdas di sekolahnya.” 

“Ah, percuma otak pintar tapi tidak punya hati.” 

Danny mendengarnya. Ia masih berdiri di depan kelasnya dengan seorang guru yang masih berbicara tentang dirinya pada anak-anak lain. Namun daripada menanggapi ucapan orang-orang di sekitarnya, Danny memilih menjatuhkan pandangannya pada seorang siswi yang duduk di jajaran bangku belakang. 

Pertama kali mata mereka bertemu, raut keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Namun lama kelamaan Danny berubah menjadi sesuatu yang membuat gadis itu malas melihatnya. 

“Baiklah Danny, kau bisa duduk di belakang Davis,” ucap si guru seraya menunjuk bangku di belakang seorang siswa dengan paras dingin. 

Beruntung atau tidak, ternyata mejanya bersebelahan dengan Hanny, gadis yang masih enggan meliriknya tadi. 

Gadis itu terlihat tidak peduli dan memilih menatap jendela di sampingnya. Ia jelas menghindari kontak mata secara langsung dengan Danny. Perasaan marah dan kecewanya mungkin masih sangat mendarah daging di hati gadis tersebut, apalagi begitu tahu jika hukuman yang Danny dapatkan tidaklah seberapa. Nyatanya, berbekal sebuah pernyataan ‘ketidaksengajaan’ Danny bisa mendapatkan sebuah keringanan.

Ya, Hanny pun mengakui, kesalahpahamanlah yang membuat semua ini terjadi. Tapi rasanya amat tidak adil untuk Khaira yang telah menanggung banyak sekali beban atas peristiwa ini 

Hanny masih setia menatap keluar jendela ketika sebuah ketukan terdengar dari mejanya. Hanny segera berbalik, menatap temannya dan bertanya, “Apa?” 

Teman perempuannya itu menggulirkan mata ke arah Danny yang masih sibuk merapikan mejanya. “Bukankah itu anak sekolah sebelah yang menemuimu waktu itu?” Yuna, temannya yang duduk di depan Hanny itu berbisik.

Hanny hanya mengangguk saat itu, tapi entah kenapa reaksi Yuna begitu heboh. 

“Kau berteman dengan orang seperti dia?” Anak itu tanpa sadar menggebrak meja Hanny.

“Siapa yang berteman dengan orang seberengsek dia?” Dan dibalas oleh teriakan cukup kencang oleh gadis tersebut.

“Hanny, Yuna, kenapa ribut sekali?” 

Baik Yuna dan Hanny sama-sama diam. Seisi kelas memandang keduanya, tak terkecuali dengan Danny. 

“Jangan bersuara lagi. Atau aku keluarkan kalian dari kelasku.” 

“Baik, Pak.” Kor keduanya kompak. 

Setelahnya kelas kembali diisi oleh suara guru mereka yang menjelaskan tentang berbagai angka yang sama sekali tidak menarik perhatian Hanny. Namun dibandingkan dengan memikirkan bagaimana rumus-rumus menyebalkan itu diselesaikan, Hanny lebih memikirkan tentang Danny. 

Jika guru yang ada di depan kelas saja mendengar apa yang Hanny katakan. Maka bukan tidak mungkin jika Danny pun ikut mendengar suaranya, bukan?

***

Danny merasa sendirian kini. Ia berada di tengah-tengah orang asing yang tidak ia kenali. Keadaan semakin memburuk ketika semua rumor yang beredar mengenai ia yang dikeluarkan karena menindas siswa lain tersebar begitu cepat. 

Memang benar, tak bisa ia memungkiri kalau dirinya ditendang dari sekolahnya yang dulu karena membuat kedua juniornya masuk rumah sakit, bahkan meninggal, tapi itu sebuah ketidaksengajaan. Danny bahkan tak berniat menyakiti mereka pada awalnya. Hanya saja kabar begitu cepat tersebar, hingga sekarang tak ada satu pun siswa yang mau berdekatan dengan Danny. 

Kalau boleh memilih, Danny lebih baik sekolah di desa paling terpencil yang tak memungkinkan orang-orang di sana tak tahu mengenai dosanya. Namun Danny cukup tahu diri. Sekolahnya dibiayai yayasan, Ersa tak akan mampu jika harus mencari uang lebih untuk mengurus kepindahannya. Belum lagi ini merupakan tahun terakhir Danny, akan sangat sulit menemukan sekolah yang menerima siswa kelas akhir sepertinya. 

Inginnya, di hari pertamanya ini Danny lari begitu melihat tatapan siswa lain kepadanya. Tapi mau bagaimana lagi, yayasan sekolahnya terdahulu telah berusaha sekeras mungkin supaya Danny bisa meneruskan sekolah walau bukan di sekolah yang dulu. Danny siswa yang cerdas, peringkat satu setiap tahun. Akan sangat di sayangkan kalau ia harus berhenti di tengah jalan. Maka dari itu, terpilihlah sekolah ini. Sekolah yang tak terlalu jauh dari sekolah lamanya, sekolah yang mau menampung Danny berkat semua prestasi yang ia miliki. 

Danny kira, semuanya akan baik-baik saja setelah pindah, tapi nyatanya tidak. Danny sendirian, dengan segala rumor yang memberi kesan buruk pada dirinya. 

“Sendirian?” tanya seseorang yang entah sejak kapan duduk di depannya, Hanny. 

“Ya, aku sendirian.” 

Bolehkah Danny berharap kalau kali ini Hanny berada di pihaknya. 

Namun sepertinya tidak. Melihat bagaimana gadis manis itu memberikan sebuah senyum meremehkan kepada Danny. Itu semua tampaknya hanya angan belaka bagi Danny. 

“Bagaimana rasanya?” 

“Rasa apa? Rasanya sendirian?” 

“Rasanya dituduh dan disalahkan semua orang, ketika kau tak pernah bersalah.” 

“Apa maksudmu?” 

Hanny mengepalkan tangannya di atas meja. Ia benar-benar tengah mencoba mengendalikan emosinya sendiri saat menatap wajah Danny.

“Apakah kau pernah berpikir, seperti inilah Khai saat semua orang menganggapnya manusia paling berdosa, ketika kau bilang dia yang membuat adikmu terluka. Dia sendirian dan dia merasakan apa yang kau rasakan saat ini. Jadi ... bagaimana rasanya?”

Danny diam membisu. Perkataan Hanny benar-benar membuatnya jatuh. Rasa sepi, gelisah, takut. Danny merasakannya sejak ia menginjakkan kaki di sekolah ini. Ia asing dan sendiri. 

Apa itu yang juga dirasakan Khaira?

Mungkin sedikit mudah bagi Danny. Danny tak pernah mengenali orang-orang ini, tapi bagi Khaira, yang mencibir dan meninggalkannya adalah orang-orang terdekat gadis tersebut. Bahkan Jimmy, sahabatnya sendiri. Maka bisa dipastikan rasa sakitnya berkali-kali lipat lebih banyak. 

“Danny, kau sudah merasakannya, bukan. Menjadi monster di mata semua orang, apa enak, apa kau menyukainya, apa kau nyaman?” 

Mata Hanny bergetar ketika melihat Danny yang amat hancur di depannya. Ia iba, kasihan, tapi rasa benci lebih mendominasi perasaannya. Hingga hati nurani Hanny seolah terkubur dalam-dalam oleh rasa benci juga dendam yang ia derita. 

“Kau bahkan lebih layak dipanggil monster daripada Khaira, kau—” 

Brak!

Danny tahu dirinya salah, tapi mendengar perkataan Hanny lebih jauh lagi ia juga bisa marah. Maka meja menjadi sasarannya. 

Namun tak disangka-sangka. Sesaat setelah ia menggebrak meja, seseorang menarik kedua tangannya ke belakang. Membuat Danny tak bisa bergerak lebih jauh. 

“Mau apa kau pada teman kami?” Seseorang yang berada di belakang Danny berteriak kencang. 

Sementara Hanny sudah ditarik ke tempat lain oleh seorang siswa yang Danny ingat duduk di depannya ketika mereka di kelas. 

“Kau pikir kau bisa menjadi jagoan di sini? Bung, ini bukan sekolahmu. Bedakan antara area teritorialmu dan kami. Kau bukan siapa-siapa di sini, jadi jangan banyak tingkah.” Dia Davis, siswa dingin yang duduk di depan kursinya. Siswa jarang bicara itu kini mencak-mencak di hadapannya. 

“Terlebih yang kau sakiti itu adalah teman kami,” ujar yang ada di belakang Danny. Membuatnya tak bisa melihat wajah yang berbicara. 

“Kau boleh berkuasa di sekolahmu dulu, tapi tidak di sini. Ingat itu!” lanjut Davis seraya menunjuk-nunjuk ke hidung Danny. 

Untuk selanjutnya, Danny dilepaskan. Membuatnya bisa melihat segerombolan siswa yang telah memperingatinya pergi menuju meja di mana Hanny dan satu temannya yang lain berada. Ada lima orang ternyata. Dan sepertinya Danny telah membuat kelimanya marah besar. 

Selamat Danny, sekolahmu yang baru adalah neraka dunia bagimu. 

***

“Selamat sore!”

Khaira yang awalnya tengah menulis sesuatu di jurnal barunya tersentak kaget ketika Hanny seperti biasanya datang dengan teriakan dahsyatnya. 

“Sore juga, Kak.” Gadis manis itu meletakkan jurnalnya yang baru itu di atas nakas samping ranjangnya. Ia terlihat sudah semakin sehat, walau tangannya masih belum bisa lepas dari selang infus. 

“Menulis apa?” 

“Bukan apa-apa kok.” 

“Halah, palingan kau menulis surat cinta untuk Kak Joseph.” 

Lihat selengkapnya