Eyes

Cumiplutoo
Chapter #21

Chapter 20

Khaira telah kembali ke kamarnya sejak dua hari yang lalu. Ruangan yang luasnya hampir sama dengan ruang serba guna di sekolahnya itu terasa amat kosong nan hampa. 

Kakeknya membuang semua barang-barang yang berhubungan dengan Jimmy juga Felix dari sana.  

Tak ada lagi pigura besar yang melindungi foto kelulusan Khaira bersama Felix saat SMP. Gambar-gambar yang Khaira ambil dengan kamera polaroidnya pun sudah lenyap dari dinding yang khusus dibuat untuk menempel foto-foto instan tersebut. Semua hasil kerajinan tangannya dari taman kanak-kanak pun tampaknya sudah dikemasi oleh Bibi Nam sebelum Khaira pulang.  

Kamarnya jadi terasa berkali-kali lebih luas dari sebelumnya. Yang artinya, Khaira akan semakin kesepian tiap kali diam di dalam sana sendirian.  

Namun bolehkah ia berharap dengan kosongnya kamar sekarang, maka akan semakin banyak orang yang datang menemaninya. Seperti sekarang, saat Kenan dengan sabar merapikan tempat tidur Khaira sebelum adiknya itu naik ke atasnya.  

“Nah, sudah siap. Sini berbaring dulu, jangan banyak bergerak.”  

Khaira tersenyum kecil dan menghampiri kakaknya tersebut. Ia menempatkan diri di samping Kenan yang juga tengah berbaring menatap langit-langit kamarnya.  

“Kenapa Kakak belum berangkat bekerja?” Khaira bertanya ketika sadar sejak kemarin Kenan tak pernah meninggalkannya sekalipun.  

“Ah aku belum ceritam, ya. Aku memutuskan kontrak dengan mereka.”  

“Memutusan kontrak? Kenapa?” sontak Khaira memiringkan tubuhnya ke arah Kenan, ia terkejut bukan main.  

“Kalau aku bilang alasannya adalah kau, bagaimana?”  

“Kak, itu mimpimu. Kenapa kau harus melepasnya. Jika benar-benar karenaku, aku akan sangat merasa bersalah.”  

Kenan tersenyum geli sementara Khaira sudah hampir menangis. Adik kecilnya yang suka merajuk sudah kembali, Kenan senang sekali.  

Yang lebih tua lalu membawa gadis itu ke dalam pelukannya, membiarkan Khaira nyaman di dadanya, sementara tangannya sendiri mulai mengusap rambut Khaira dengan pelan.  

“Aku mungkin mencintai musik dan tarian, tapi mimpiku bukan mereka. Yang ada di hatiku bukan tentang bisa dikenal banyak orang, yang aku inginkan dulu hanya sebatas mendapatkan perhatian. Sekarang, aku sudah dapatkan itu dari kau, juga dari Kakek jadi untuk apa lagi memaksakan keinginanku di sana? Lagi pula, sepertinya bekerja di balik meja cukup menyenangkan. Kasihan Kakek jika masih harus menangani perusahaan seorang diri.”  

Khaira menatap takjub kepada kakaknya, ia cukup terkesan dengan cara berpikir kakaknya yang sudah benar-benar matang. Kini, pria itu telah mampu menempatkan dirinya di berbagai situasi, tidak egois juga mulai mau terbuka pada saran dan teguran.  

“Rencananya, aku akan melanjutkan sekolahku yang dulu sempat tertinggal. Bagaimana menurutmu?” 

“Itu bagus, tapi bagaimana dengan penggemarmu?”  

“Memang aku punya penggemar?”  

“Hilya kan salah satu penggemarmu.”  

Lagi dan lagi, Kenan selalu tak kuasa menahan senyumnya ketika tengah berbincang santai seperti ini dengan Khaira.  

“Khai, penggemar seperti seorang teman. Mereka yang benar-benar tulus mencintaiku akan mendukung apa pun keputusan yang aku ambil. Jadi tenang saja.”  

Teman, teman yang selalu mendukung apa pun keadaanmu.  

Tiba-tiba sosok Felix kembali dalam ingatannya. 

Bertahun-tahun lamanya mereka saling kenal, menjadi teman, lalu seorang sahabat. Khaira tak pernah menyangka kalau ternyata persahabatan itu tak ubahnya bagai topeng untuk Felix.  

Hatinya sempat terluka, ia merasa kalau Felix melakukan semuanya karena ia mencintai Khaira. Bukan karena ketulusan seseorang. Namun jika ditilik lagi, Felix tak pernah meminta Khaira melakukan apa-apa. Ia bahkan tak memaksakan perasaannya dan memilih untuk bungkam.  

Khaira tak pernah tahu sesakit apa hati Felix ketika harus memendam perasaannya selama itu padanya. Yang jelas mungkin rasa kecewa Khaira tak ada apa-apanya dengan rasa sakit yang di terima Felix dulu.  

“Khai ...” 

“Uh, ya, Kak?”  

“Kau memikirkan sesuatu?”  

Khaira terdiam, namun matanya terlihat semakin sendu bagi Kenan. Hingga ia tak ragu memeluk adiknya itu lebih erat dari sebelumnya.  

“Apa pun yang kau resahkan saat ini, jangan sampai membuatmu menyerah. Kau tahu, hidup berjalan. Jangan karena sesuatu kau jadi diam bahkan berjalan di tempat.”  

Kenan benar-benar khawatir, semua yang ia lakukan seolah-olah mencerminkan perasaan cemasnya untuk Khaira. Bahasa tubuhnya, ucapannya, juga air wajahnya tak bisa membohongi dunia kalau ia sedang dilanda rasa khawatir pada adiknya ini.  

Ia hanya tak mau Khaira berada dalam ruang yang sama seperti tahun-tahun yang telah berlalu.  

“Berjanjilah jangan pernah merasa sendiri lagi. Aku ada di sini sekarang.”  

Khaira tak menjawab, namun pelukannya yang semakin mengerat, mungkin bisa saja menjadi jawaban iya.  

***

Khaira tertidur mungkin hampir tiga jam lebih. Karena suasana kamarnya sudah remang-remang dan di luar matahari senja sudah hampir padam begitu ia bangun karena merasa haus.  

Awalnya ia ingin bangkit dari ranjangnya, bermaksud menyusul Kenan yang mungkin saja sudah terlebih dahulu bangun. Namun langkah kakinya terhenti ketika ia mendapati seseorang tengah berdiri di depan pintu kamarnya.  

“Jimmy?”  

“Hai Khai, mau kopi?” tanyanya seraya mengulurkan tangannya ke arah Khaira.  

Takut-takut Jimmy melakukannya. Karena sejak Khaira siuman, ia sama sekali belum pernah menemui temannya itu lagi. Ia terlalu takut. Apalagi ketika kini melihat wajah Khaira yang tak menunjukkan respons apa pun.  

“Jimmy,” ucap Khaira lirih.  

“Hm?”  

“Itu jus jeruk.”  

Oh Tuhan, betapa leganya hati Jimmy ketika matanya menangkap senyum itu lagi. Senyum manis yang membuat mata kecil Khaira menyipit, senyum cerah yang begitu Jimmy rindukan.  

Jimmy merasa semua bebannya diangkat. Hingga tanpa sadar berlari dan memeluk Khaira yang masih berdiri di samping ranjangnya. Kau tahu, segala gundah, rindu juga gelisah luruh seketika bersama pelukan hangat mereka.  

“Maafkan aku, Khai.”  

“Tidak Jim, tak ada yang harus dimaafkan. Tidak ada yang salah.”  

Khaira mengaku, ia merasa sakit ketika Jimmy berpaling dan berbalik meninggalkannya. Tapi selama ini pun Khaira berpikir mengapa itu terjadi, mungkin Jimmy tak akan seperti itu jika Khaira bicara apa yang mau ia lakukan.  

Selama mereka jalan di jalan masing-masing, Khaira mulai sedikit sadar. Kalau semua kepercayaannya mengenai seorang sahabat itu tak semuanya benar.  

Jimmy sahabatnya, memang. Namun ia tak akan bisa selamanya mengerti apa yang Jimmy pikirkan. Sama seperti Felix. Dia sahabatnya, tapi Khaira juga tak bisa peka jika selama ini ada sesuatu lain yang ia sembunyikan.  

“Kau dan Felix telah membuatku menghukum diriku selama ini. Kau juga harusnya tahu betapa aku hancur tanpa kalian. Aku minta maaf, Khai.”  

Lihat selengkapnya