Khaira melangkahkan kakinya di atas lantai marmer rumahnya. Rumah megahnya yang sepi. Ia menyusuri tiap ubin dan anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Namun, baru saja ia menggapai gagang pintu, seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Khaira.
“Non, Non sudah pulang?” tanya seorang wanita paruh baya seraya mendekat ke arah Khaira. Gadis itu sendiri hanya mengangguk menjawab pertanyaan retoris dari salah satu asisten rumah tangga—ah, tidak. Ibu asuh, maksudnya.
“Apa Non ingin makan sesuatu setelah ini?”
“Tidak usah Bi, aku akan belajar saja.” Khaira menjawab singkat.
Sudah jadi rahasia umum bagi para asisten rumah tangga di sana, jika Khaira akan selalu memilih mendekam diri di dalam kamarnya setelah pulang sekolah. Mereka kadang merasa khawatir, apalagi jika pada saat hari libur gadis itu tidak menampakkan mukanya sama sekali.
Jika untuk para pelayan baru, mungkin hal itu cukup mengundang heran. Namun untuk sebagian besar pekerja lama, hal itu bukan lagi sesuatu yang aneh. Sejak kecil beban yang Khaira tanggung tak main-main besarnya. Ia pewaris seluruh kerajaan Mahesa. Seseorang yang nantinya akan menggantikan kedudukan kakeknya adalah Khaira. Maka tak heran jika anak ini sudah ditempa bahkan sejak ia kecil.
Sebenarnya, ada satu orang yang mungkin bisa saja menggantikan Khaira. Kakaknya, namun pemuda itu memutuskan keluar dari rumah tiga tahun yang lalu dan memberikan semua tugas yang awalnya ia tanggung kepada Khaira.
“Oh ya Non, Tuan Besar menambah jadwal les yang Non ikuti. Dan hari ini adalah hari pertama lesnya dimulai.”
“Panggil saja aku kalau gurunya datang. Aku tidak akan tidur, kok.”
Mendengar jawaban halus anak majikannya, Bibi Nam, begitu Khaira memanggilnya, segera undur diri meninggalkan Khaira yang masih termangu di depan pintu masuk kamarnya.
Sepeninggal wanita tersebut, mata cantik Khaira menatap nanar potret keluarganya yang diletakkan di dinding utama di lantai satu. Di sana, semuanya terlihat bahagia, ibunya tersenyum lembut, kakaknya tertawa lebar, ayahnya memangku Khaira yang juga tak kalah bahagia.
Itu sebelas tahun yang lalu. Khaira pikir, dulu pasti ia sangat senang dengan kehidupan yang ia jalani. Tapi sayang, seberapa pun senangnya ia saat itu, hanya akan jadi sia-sia untuk sekarang. Semuanya terasa percuma, karena Khaira sama sekali tak ingat akan hal itu. Sudah terlalu lama dan Khaira terlalu kecil untuk mengingat masa-masa bahagianya.
°°°
Kulit pemuda itu putih pucat, ia memakai long coat dengan dalaman turtle neck. Matanya terbingkai sebuah kacamata bulat dengan gagang berwarna hitam, bibirnya menarik garis lurus tanpa minat. Tapi percayalah, jika di balik tatapan malasnya ia menyimpan banyak kekaguman pada setiap benda yang ia tatap. Jika saja ia tak sedang mengikuti langkah kaki tergesa-gesa di depannya, mungkin ia sekarang tengah memuja barang antik yang bertebaran di sana.
“Anda bisa menunggu di sini. Saya akan memanggilkan Non Khai terlebih dahulu.”
Pria itu mengangguk setuju untuk menunggu, namun selepas pelayan itu pergi ia tak bisa menahan diri untuk tidak berdecak kagum pada apa yang ia lihat.
Joseph ingat betul jika ia baru saja menerima notifikasi dari emailnya yang menyebutkan jika ia diterima sebagai guru les privat. Awalnya, pemuda itu tak terlalu tertarik. Selain karena ia hanya asal memasukkan CVnya saja, ia juga agak malas menjadi pengajar anak SMA. Takut tidak nyaman. Namun semua berubah ketika ia melihat nominal angka yang mereka tawarkan.