SATU
=======================================
Udara panas dengan suhu tiga puluh derajat tertera pada papan pengumuman yang aku lihat di Bandara Soekarno Hatta seakan menipu saraf pada lapisan kulitku. Derauan angin dingin yang tertiup silih berganti dari alat penyejuk udara tak mampu mengatasinya, sehingga butiran cairan natrium klorida dari setiap lubang kecil indra peraba tubuhku tak malu untuk keluar.
Banyak alasan mengapa tubuhku seakan tak henti-hentinya beringsang, mungkin karena perbedaan temperatur, pada tempatku berdiri beberapa jam lalu membuat tiga puluh derajat seakan menyerang dua kali lipat. Mungkin juga kesalahan kemampuan tubuhku yang tidak mampu beradaptasi lebih cepat.
Tidak!
Alasan utamanya adalah perihal yang mengharuskan aku pulang dari kota pusat bisnis negara Amerika Serikat ke Ibukota negara Indonesia. Kenyataannya, bukan dari rangsangan luarlah yang membuatku kepanasan, namun gejolek amarah yang membuat metabolisme tubuhku harus bekerja ekstra.
Aku marah pada Tuhan!
Tuhan!
Ya, aku marah pada-Mu.
Ada banyak alasan mengapa aku marah pada entah apa sebenarnya Ia, bahkan aku sangsi apakah sebenarnya Tuhan itu ada. Kalau ada mengapa doa-doaku pada-Nya belum juga ia kabulkan. Apa karena sudah lama aku tak meminta sehingga ia tak mempedulikanku?
Tapi bukankah manusia akan mengingat Tuhan saat mereka dalam keadaan yang tidak menyenangkan? Saat masalah datang bahkan saat manusia terkena musibah? Dan harusnya ini waktu yang tepat untuk menunjukkan eksistensi-Nya dan mewujudkan keinginanku, karena setelah selama dua puluh tahun aku hidup, baru kali ini aku terkena masalah, terkena musibah dan berada titik terbawah dalam hidupku.