Stasiun Moskovskiy Vokzal di musim panas selalu ramai oleh para calon penumpang baik untuk datang maupun pergi dari penjuru Rusia, daratan Eropa bahkan negara-negara Asia Timur.
Stasiun yang terletak di jalan Nevskiy Prospect menjadi saksi perpisahanku dengannya. Saint Petersburg salah satu kota terbesar di Russia.
Langkah kakiku berirama dengan deritan yang ditimbulkan oleh roda-roda koper berukuran tiga puluh dua inci yang aku seret.
Sesekali aku menoleh ke belakang memastikan gadis itu masih mengikutiku, aku mencemaskannya. Bukan karena aku tak percaya padanya, bukan pula karena aku takut ia akan tersesat, dan tak tahu harus ke mana, walaupun hal itu tak akan terjadi. Karena sudah untuk kesekian kalinya bagi kami berada di stasiun ini, bahkan seluk beluk stasiun ini kami hapal di luar kepala. Tapi yang aku khawatirkan adalah kalau-kalau ia masih belum menerima kenyataan yang harus aku hadapi.
Syukurlah ia masih tepat di belakangku, sekilas mata kami bertemu, ia tersenyum lalu menunduk, menghindari tatapan mataku.
Aku kembali berjalan dan membiarkannya mengekor di belakangku, pikiranku menerawang atas keputusan tergila yang pernah aku ambil, namun keputusan ini sudah sejak dulu aku impikan, berpijak pada diriku sendiri, berpikir untuk diriku sendiri, bertindak sebagai diriku sendiri.
Aku menepis bayangan orang-orang yang memasang wajah kecewa, marah, dan mungkin senang atas keputusanku dengan kembali menoleh kebelakang, memastikannya tetap berada pada pengawasanku.
Ia kini berada jauh beberapa meter di belakangku, sambil menyeret travel bag-ku berukuran sedang dengan wajah muram, berjalan lesu memandang ke bawah, ia bahkan tak sadar hampir saja menyenggol seorang wanita tua yang baru saja keluar dari toko roti.
Aku menghela nafas dan berhenti sejenak.
"Beeeel..." panggilku lembut, namun tak ada reaksi darinya.
"BEL!!!" kutinggikan sedikit suaraku membuyarkan lamunannya, seketika ia berhenti. Bagaikan di adegan film, aku melihat bahwa hanya kami yang bergerak lambat, seluruh orang lalu lalang dengan gerakan cepat tanpa memedulikan kami yang hanya berdiri diam.
"Heeeeh? Iya Dol kenapa?" tanyanya datar, hanya terpaku di tempatnya. Tak ada niat menghampiri.
"Jalannya barengan aja sih, ngapaen di belakang?"
"Gue, kan udah bilang, Dol. Gue pengen liat punggung lo!" jelasnya tersenyum.
"Dari tadi yang lo liat lantai bukan punggung Gue!" dengan malas ia menghampiriku dan kami kembali berjalan bersebelahan dalam kebisuan.
Satu dua toko suvenir khas kota Lenin terlewati tanpa aku toleh sedikitpun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya aku akan membeli beberapa cindera mata dan oleh-oleh terakhir sebelum keberangkatanku pulang ke tanah air, namun tahun ini beda. Semuanya sudah aku siapkan dua minggu sebelumnya maka dari itu aku sedikit kerepotan tahun ini karena bawaanku yang lebih banyak dengan koper tambahan. Dua koper dengan ukuran paling besar dan dibawahanya, satu tas punggung besar, satu tas laptop yang aku letakkan ditarikan koperku, serta tas kamera yang aku sandangkan di bahuku.
Sedikit menyesal.
Tapi aku yakin suatu saat nanti aku akan kembali ke kota ini, kota tercantik yang pernah aku tinggali.
Udara musim panas langsung menyapa kami begitu keluar dari area ruangan stasiun, suhu malam itu cukup hangat, tertera jelas di layar jadwal kereta yang menyisipkan suhu udara, angka 32 menunjukkan suhu berdasarkan celsius. Kuperhatikan nomor kereta yang akan aku tumpangi, ternyata kereta yang akan membawaku pergi menungguku di jalur 6L.
Kualihkan padanganku ke barisan kereta api yang memukau, berwarna-warni serta beberapa tipe sesuai kelasnya. Kaca-kaca lokomotif menyilaukan mataku akibat pantulan sinar matahari yang masih betah menyinari bumi walau waktu sudah menunjukkan pukul 22.45 waktu Saint Petersburg. Sedangkan langit dilukiskan indah oleh deretan awan putih lebat bergumpal berlatar bekalangi birunya langit.
Белые Ночи!
White Night atau Malam putih!
Fenomena alam yang terjadi di puncaknya musim panas, diakibatkan karena posisi miringnya bumi sehingga matahari hanya berputar di atas bumi bagian kutub utara selama dua puluh empat jam. Itu yang pernah aku dengar bagaimana fenomena alam itu terjadi. Tak heran banyak orang yang berdatangan untuk melihat fenomena tersebut yang terjadi setiap tahun pada musim panas, bahkan turis dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong menikmati hangatnya matahari di tengah malam. Aku melanjutkan langkah kakiku sambil melihat pemandangan di sekelilingku, orang-orang lalu-lalang sibuk dengan bawaan masing-masing, ada yang sendiri, ada yang berdua, ada yang berkelompok.
Aku berhenti sejenak lalu membuka tas kameraku dan mengambil dan mempersiapkan tiket kereta api serta parportku, karena petugas masing-masing gerbong akan menanyakan dan mecocokkan data yang ada di tiket serta di dalam pasport.
"6L di sana, Dol!"
"Iya gue tau cuman ngecek doang, hmmm... yuuk! Jangan bete gitu ah mukanya! Jelek tau!" candaku namun dibalasnya dengan menarik bibirnya segaris tanpa ekspresi.
Dan dipaksakan.
"Mozhno vashi bilyet i pasport? - Boleh tolong tunjukkan tiket dan passport Anda?" tanya wanita ras putih berseragam biru dengan topi merah yang menutupi sebagian rambut pendek sebahu berwarna merah kecoklatan. Wajahnya yang terlihat lebih tua dari umurnya tak memamerkan goresan senyum, hanya muka datar dengan mata tajam yang terpancar dari tatapannya.
"Vam udachi i syestlevava putchi! - Selamat menikmati perjalanan Anda" ucap wanita itu masih datar setelah mengecek data yang tertera di tiket sama dengan data yang tertulis pada pasport.
"Spasibo! – terima kasih!" jawabku datar pula sambil mengambil tiket dan pasporku yang diserahkannya lalu mengambil tas laptopku yang sedari tadi aku sisipkan di antara besi tarikan koperku lalu mengangkat koperku yang beratnya mungkin satu ton ke dalam kereta.
Wanita berseragam itu menyadari bahwa aku kesulitan dengan koperku dan tanpa sungkan ia membantuku membawanya ke dalam kereta. Setelah koperku berhasil masuk, Bella menyusulku dengan berusaha menenteng travel bag-ku.
"Nye nado spasibo.... - Tidak usah, terima kasih..." ucap Bella kepada wanita tersebut yang langsung menghampirinya untuk megambil alih travel bag-ku, ketika melihat Bella kesusahan mengangkatnya.
"Yakin Bel? Berat ya?" tanyaku cemas namun hanya dibalas dengan gelengan kepalanya yang masih tertunduk seolah - olah banyak hal menarik yang akan ia dapatkan di bawah sana.
"Enggak... huuup!" dengan usaha keras akhirnya ia berhasil masuk kereta lalu meletakkannya kembali ke lantai kereta dan kami kembali berjalan memasuki lorong gerbong kereta. Ternyata di lorong salah satu jenis kereta di Rusia yang berkamar di setiap gerbongnya bernama Kupe ini belum ada penumpang satupun.
Kami menyeret koper dengan susah payah karena lantai lorong tersebut beralaskan karpet sehingga membuat roda-roda koperku sedikit macet, sambil memerhatikan nomor masing-masing nomor yang tertera di pintu kamar kereta hingga kami berhenti di depan pintu kamar gerbong yang bteruliskan 51A – 51B dan 52A – 52B. Nomor tempat yang tertera di tiketku.
"Lima berapa dol?"
"Lima dua be semoga di bawah deh!" ucapaku sambil menggeser pintu kamar kereta berwarna kuning gading. Saat pintu terbuka terdapat di dalam ruangan kecil tersebut dua tempat tidur tingkat dua di bagian kiri dan kanan. Diatas masing-masing tempat tidur dilengkapi bantal, selimut serta sudah beralas sprei.
Selain itu diseberang pintu terdapat jendela dengan horden ungu yang menggantung serta dibawahnya terdapat meja berukuran sedang yang di atasnya sudah disediakan empat minuman mineral, dan empat kotak putih dengan tutup dari bahas plastik yang isinya makanan bagi masing-masing penumpang.
Aku mencoba masuk lalu mencari tempat duduk 52B. Sedangkan Bella langsung mendaratkan tubuhnya di kasur bagian kanan sambil menompang wajahnya pada tangkai tarikan trvale bag-ku.
"Yah di atas! Ntar ya Bel gue naikin koper ini ke atas situ dulu. Nanti bantu dorong dari bawah yak!" hanya di balas dengan anggukan kecil.