Masih teringat jelas dalam ingatanku, saat itu pukul lima sore di salah satu hari pada akhir Januari, namun penampakan langit sudah seperti pukul tujuh malam waktu Indonesia.
Aku berjalan keluar dari metro station sistem kereta bawah tanah yang sudah dipunyai Rusia sejak jaman Soviet.
Dengan jaket tebal dan baju berlapis-lapis di dalamnya, tidak lupa syal tebal panjang yang aku lilit hingga hidung, serta kepala dan kuping yang aku tutup dengan kupluk, kakiku mengarungi desiran angin beku yang menampar wajahku, menusuk hingga ke tulang pipi yang seketika membuat pipiku perih serta memerah.
Suhu sore itu sungguh mencekam, puncaknya musim dingin membuat banyak orang memilih untuk tinggal di rumah dan menghangatkan diri dalam selimut.
Sedangkan aku justru berjalan menyeberangi jalan, melewati lorong bawah tanah, bergerombol dengan orang-orang bangsa kulit putih tersiksa oleh dinginnya iklim.
Suasana tahun baru dan yang kemudian di susul hari Natal beberapa minggu lalu masih terasa, terlihat di ujung lorong berdiri satu yolka, yaitu sebutan untuk pohon natal sebagai simbol tahun baru dan juga natal yang dirayakan oleh warga Rusia pada tanggal 7 Januari. Yolka tersebut berukuran sedang lengkap dengan hiasan-hiasan yang puncaknya bersentuhan dengan langit-langit lorong.
Aku memandang sebentar keelokan yolka kemudian kembali mempercepat langkahku dan langsung menaiki tangga utama lorong itu untuk menuju jalan utama. Tak jauh dari pintu keluar lorong tersebut Bella menungguku.
"Bel!" teriakku begitu aku melihatnya berdiri di ujung tangga lorong bawah tanah.
Ia menoleh padaku.
Seluruh wajahnya hampir tertutup oleh syal pink yang dikenakannya.
Udara bulan Januari memang tidak boleh dianggap remeh. Manusia bisa mati kedinginan karena necrosis*, jika keluar tidak dengan perlengkapan musim dingin yang lengkap.
Kini kami duduk berhadapan di salah satu kafe kecil bernama Chainaya Lozhka, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti sendok teh. Karena memang kafe ini menawarkan berbagai jenis teh yang bisa di isi ulang berkali-kali. selain itu Chainaya Lozka juga menawarkan berbagai macam panekuk khas Rusia yang disebut Blinchik.
Dan tentu saja terdapat pula salad khas Rusia yang sudah menjadi primadona di dunia kuliner internasional. Tidak heran bila kafe ini menjadi tempat yang digemari warga Rusia di Saint Petersburg, untuk menikmati seduhan teh, tidak teritinggal aku dan Bella.
Walau jauh dari tempatku, serta menghabiskan setengah jam perjalanan menggunakan satu kali bus umum, dan satu kali naik metro, tapi itu semua terbayar saat aku memanjakan lidahku dengan mengunyah blinchik s kuroi i gribami, panekuk yang di dalamnya terisi daging ayam dan jamur yang diselimuti saus bawang putih ala Rusia di atasnya.
Hmmm....
Rasanya terbayarkan sudah, apalagi dengan menyeruput teh hangat ditambah beberapa suap salad Rusia setelah mengantre panjang menunggu giliran untuk memesan, karena sistem pemesanan di kafe ini seperti salah satu restoran cepat saji dengan menu masakan Jepang yang sangat meraja lela di Indonesia.
"Biasa kan bang?" aku hanya mengangguk.
Bella tahu menu favoritku di sini dan ia langsung memesan menu favoritnya yaitu blinchik s myasom, panekuk yang terisi daging babi yang selimuti oleh saos jamur khas Rusia.
"Baaang.... Ekzamen* Histologi* Neng dapet lima!" dengan bangga ia memamerkan berita bagus yang sedari tadi ingin ia ceritakan hingga memaksa untuk segera bertemu. Sedikit curang karena tempat pertemuan yang sangat jauh dari tempat ku, namun dapat dijangkau hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki olehnya. Itu dikarenakan kampus dan asramaku letaknya di pinggir kota sedangkan kampus dan asramanya terletak di jatung kota.
Terlihat wajahnya berseri tak kuasa menahan bahagia karena telah mendapatkan angka lima. Angka lima adalah angka sempurna dari sistem penilaian pendidikan di Russia, sedangkan angka buruk adalah angka dua yang artinya jika mendapat angka itu, mahasiswa tersebut harus mengulang kembali ujian dilain waktu sampai waktu yang sudah ditetapkan. Bila hingga waktu yang ditetapkan mahasiswa tersebut belum dinyatakan lulus, maka ia harus mengulang seluruh rangkaian belajar-mengajar setahun penuh. Seperti tinggal kelas pada sekolah dasar hingga menengah atas untuk sistem pendidikan di Indonesia.
"Waaaah hebaat!!! Gak sia-sia abis nonton malam itu kita gak ketemu ampe hari ini," ucapku memberikan selamat sambil memotong blinchik lalu melahapnya.
"Hehehe... makasih-makasih, iya abis nginep ama abang di rumah Bu Rumi, Neng belajar mati-matian Bang! Kan Abang tau ndiri zachot* Histologi tuh yang terakhir yang Neng dapet!" jelasnya sambil menyeruput tehnya. Kami memilih duduk dekat jendela yang menyediakan tempat duduk khusus dua orang.
"Selamat ya Neeeng.... Itu baru namanya Nengnya Abang!" kataku bangga.
"Iya Bang.... Abang sendiri gimana? Hari ini terakhir kan?"
"Gagal semuanya!" diikuti oleh gelak tawaku.
"Banyak zachot yang Abang belum semester ini Neng, exam tahun lalu masih nyisa satu, Microbiology kan abang belum ekzamen Neng!" jelasku santai masih menikmati santapan yang ada di depanku.
"Aaaahhhh Abang! Mau ampe kapan sih Bang kaya gini? Udah deh fokus kuliah aja sih gak usah aneh-aneh!"
"Iya maunya juga gitu, tapi Neng kan tau masalahnya Abang!"
"Iya masalahnya Abang males! Semangat kek Bang! Liburan musim dingin ini dipake belajar yak! Dipake ngejar utang-utang Abang tuh!"
"Siap komandan....." seru ku sambil menaruh tangan kananku di ujung dahi. Ia hanya tersenyum kecil lalu kami terdiam, membisu, menjelajah pada pikiran masing-masing.
Aku melihat ke arah luar, tumpukan salju putih bercampur tanah membuatnya seperti kecoklatan, meruntuhkankan keindahan eksistensinya, pohon-pohon yang hanya meninggalkan ranting dan dahan, dengan salju menggantikan peran dedaunan membuat aku masih belum percaya di mana aku berada.
Pantulan-pantulan cahaya lampu jalan mengilapkan jalan raya yang tidak terlalu banyak kendaraan berlalu-lalang sore itu, samar terlihat pantulan dari salju yang mencair, melukiskan bangunan-bangunan cantik yang di bangun berabad-abad silam namun tetap kokoh hingga sekarang. Membuatku betah memanjakan indra penglihatanku menikmati pemandangan yang tersuguhkan di hadapanku.
Tertangkap oleh mataku orang-orang lalu lalang menahan dingin, beberapa wanita tua mecoba menjajakan hasil kebunnya di balik tembok lorong bawah tanah tempat Bella menungguku tadi. Sedangkan di seberang jalan terdapat taman kota distrik Petrograd yang dipenuhi remaja putra-putri untuk bercengkrama dalam asmara.
Suasana ini sungguh indah, kota ini begitu banyak kenangan dan aku harus menikmatinya selagi masih diberi banyak waktu.
"Hmmmm.... Baaang... Neng boleh tanya sesuatu ga?" suara Bella memecah kesunyian di antara kami.
"Nanya aja neng,"
"Menurut Abang kita ini sedang apa?" ragu-ragu ia mengutarakan pertanyannya.
"Makan! Emang ngapaen lagi?" jawabku sekenanya.
"Iiiiih.... Bukan itu sekarang yang lagi kita lakuin Abaang! Tapi posisi kita, keadaan kita, hhhhmmm.... Hubungan kita!" ucapnya pelan saat mengucapkan 'hubungan kita'.
"Hubungan kita ya Abang-Eneng!" jawabku lagi, kali ini aku paham maksudnya, aku juga sebenarnya tidak mengerti sebenarnya posisi kami selama beberapa tahun terakhir.
Kami cukup dekat, bukan! kami dekat sekali. Tapi aku tidak yakin dengan perasaanku, bahkan sekarang aku tidak yakin bahwa aku benar, perasaanku berkata lain. Selama ini aku tidak sadar apa yang telah terjadi padaku hingga Desember lalu aku menemukan jawaban itu sendiri.