Aku berbaring lemas di atas kasur kamarku, mataku tertuju pada satu titik pada tembok bercat kuning kamarku.
Semua perkataan Sandra tadi sore mengingatkanku pada satu impian konyol yang entah mengapa aku pun tidak habis pikir bagaimana aku begitu tergila-gila.
Dan terobsesi untuk menjalin hubungan dengan seorang keturunan Adam yang namanya huruf depannya F.
Aku menyebutnya F-philic atau F-philia, suatu kecintaan pada huruf F, bahkan sampai dalam buku tahunan yang kemarin aku desain sendiri aku menuliskan ucapan terkahir dengan bunyi 'pacarku namanya huruf depannya f lho....'.
Terdengar konyol memang tapi itulah impianku sejak kecil, dan aku kembali mengingat bagaimana ide konyol itu datang sampai-sampai memengaruhi sisi psikologisku.
Aku ingat waktu itu umurku masih enam tahun, aku sudah bersekolah di sekolah dasar dekat rumahku di Jakarta, aku sudah bisa mengeja, apapun itu aku eja.
Dari judul buku-buku yang aku pegang, papan reklame di jalan, tulisan-tulisan yang terpapar di etalase toko, semuanya aku eja.
Sampai suatu hari di waktu siang setelah aku pulang sekolah seseorang mengantarkan amplop berwarna merah.
Aku hanya sendiri di rumah, bapakku pergi kerja, ibu ke pasar dan mbakku masih di sekolah.
Terpapar jelas dalam ingatanku aku sedang melompati kotak-kotak di atas tanah yang aku gambar sendiri, lalu tiba-tiba seseorang menghentikan lompatanku.
Masih terekam jelas pakaian berwarna oranye yang ia kenakan, seorang bapak tua tersenyum ramah kepadaku sambil menyerahkan amplop merah itu.
"Tolong kasih ke ibu ya...." kalimat itu tiba-tiba terngiang di kedua belah telingaku.
"Ini apa Pak?" aku hanya memandang amplop merah itu dengan tatapan bingung namun sekejap aku terkesima dengan ukiran indah di amplop itu.
F & F
Entah mengapa mataku tiba-tiba berbinar melihat ukiran itu, aku mengusap kedua mataku, sekarang pandanganku teralihkan ke meja belajar yang terletak tepat di samping tempat tidurku.
Aku melirik meja belajarku, huruf F&F seakan mengejekku.
Aku sengaja mengukir F&F diatas meja belajarku, berharap impian konyol itu menjadi kenyataan.
Aku kembali tenggelam pada kenangan saat pertama kali aku tahu bahwa yang kuterima itu adalah undangan pernikahan.
"Undangan pernikahan?" tanyaku pada ibu yang baru saja pulang dari pasar, langsung ku sambut sambil memberikan amplop merah yang dikasih Pak Pos.
Ibuku menjawabku dengan anggukan kecil.
"Pernikahan harus pake undangan Bu?"
"Iya nduk, biar yang ndak tau bisa tau kalau ada yang mau nikah!" jelas ibuku menarik amplop merah itu dari tanganku dan melangkah meninggalkanku menuju dapur, aku hanya mengikutinya dari belakang.
"Trus huruf F&F itu apa Bu?"
"Itu huruf depan dari nama orang yang mau nikah nduk! Kaya namamu Feli, nah nanti kalau menikah huruf nya juga F, trus F satunya lagi itu nama calon suaminya! Di undangan ini Fitri dan Fachri jadinya ya F&F gitu nduuuk!" ibuku menjelaskannya tanpa melirikku sekalipun, ia hanya sibuk membongkar barang belanjannya.
"Suami?"
"Suami itu pangeran yang mau hidup selamanya bersama sang putri, dan berjanji akan selalu membahagiakan sang putri, kamu ingat dongeng-dongeng yang sering ibu baca buat kamu kan nduk?" aku hanya mengangguk.
"Naaah.... Putri dan pangeran yang akan hidup bersama itu disebut dengan suami-istri. Suami untuk pangeran sedangkan istri untuk putri!"
"Berarti nanti aku juga jadi istri dong Bu?" ibu hanya tersenyum.