F & F ....ketika cinta tak bekerja seperti magnet...

Avtor I Rezysior
Chapter #7

07. Menapaki Mimpi

Kakiku bergoyang naik turun bagai drummer yang sedang menabuh drumnya.

Bukan karena rasa dingin yang disebabkan lantai marmer yang langsung menyentuh kulit kakiku yang telanjang.

Juga bukan karena hawa sejuk yang terhembus dari pendingin ruangan.

Namun karena tekanan pada pikiranku yang berkelut.

Kusapukan sekali lagi pandanganku pada ruangan rumah mewah bergaya arsitektur Eropa itu dengan seksama.

Sungguh dalam mimpipun tak pernah tersebesit dapat merasakan keberadaan dalam istana.

Tapi ini kenyataan dan kenyataan lainnya yang harus aku hadapi adalah niatku pada mimpiku.

Cita-citaku yang mendorongku untuk melangkah memasuki rumah mewah ini.

Cita-citaku yang memaksakan jari-jari tangan dan otakku membuat proposal demi proposal pengajuan sponsor perihal kuliahku.

Cita-citaku memojokkanku untuk membuang segala rintangan dan halangan yang mungkin terjadi.

Dan karena cita-citaku, aku tidak pernah berhenti mencoba, karena aku tahu pada saat aku berhenti aku hanya dihantui rasa penasaran dan bersalah pada apa yang harus aku perjuangkan.

Lebih baik mencobanya dari pada tidak sama sekali, kita tidak pernah tahu sebelum mencobanya bukan?

Dengan cita-citaku itu pula aku mencoba menghubungi kembali teman sekejap yang pernah mengisi lembaran hidupku walau hanya sedetik.

Teman yang diberikan kelebihan dalam finansial.

Teman yang dapat mempercayaiku.

Teman yang dapat memberikan harapan.

Dan teman yang dapat mengerti betapa indahnya mengejar impian walau impian itu kadang susah dicapai.

Ini rumah pertama serta rumah terakhir dan termegah dari semua harapan yang ada.

Setelah dikabarkan dari calon kampusku bahwa aku masuk saringan pertama PMDK aku mulai gencar mencari sponsor.

Satu persatu manusia yang ku sebut teman, aku hubungi berbasa-basi menanyakan kabar.

Lalu melangkah pada pencocokkan jadwal untuk sekedar bertemu dan mengajukan permohonan.

Semula berjalan lancar, namun perlahan berjalan tak sesuai rencana.

Ada sepuluh orang yang kuhubungi enam diantaranya langsung menolak secara halus sebelum niat terhempas melalui bibirku.

Sedangkan tiga teman-teman lainnya gagal meyakinkan orang-tua mereka termasuk Keira.

Padahal besar harapanku tertuju padanya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku boleh berencana tapi satu yang tidak bisa aku rencanakan.

Yaitu takdir.

Titel persahabatan tak dapat menjual keyakinan pada orang-tuanya, mereka tidak yakin dengan kemampuanku, dan mereka bukan orang yang percaya pada seni dapat mensejahterakan hidup.

Dan yang lebih mengagetkanku adalah ternyata Keira juga berkeinginan melanjutkan jenjang pendidikan dibidang seni.

Namun di tolak mentah-mentah dan dia segera akan diasingkan ke Malaysia agar ia dapat menjadi konsultan bisnis dan mengabdikan ilmunya di perusahaan Ayahnya.

Aku turut sedih, karena kami senasib, tapi ia kurang beruntung.

Keira tidak bisa menolak dan mempertaruhkan hidupnya demi mimpi seperti apa yang aku lakukan, dia hanya pasrah menerima kenyataan demi kebahagiaan orang tua katanya.

Aku sempat berpikir, haruskah demi kebahagiaan orang lain mengobrankan kebahagiaan sendiri?

Bukankah kata mereka kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang - tua?

Tapi mengapa mereka memaksakan kehendekan mereka terhadap anak yang katanya mereka cintai?

Inilah konflik utama yang terjadi dalam hidupku sekarang, kalau saja orang tuaku menyerahkan nasib masa depanku dengan jalanku sendiri, mungkin sekarang aku tidak akan memohon-mohon bak pengemis, menerima tudingan dan cacian yang terlontar serta mengikiskan harapanku pada mimpiku.

Kenapa harus ada orang lain yang mengurusi jalan hidup orang lain?

Bukankah kita dilahirkan sendiri?

Matipun sendiri?

Lalu mengapa harus hidup untuk orang lain kalau saat lahir dan mati mereka tidak bersamaku?

Aku akui tanpa mereka aku tidak hadir dalam dunia ini, tapi aku bukan barang tak bernyawa yang dapat dikendalikan.

Tuhan menciptakanku satu set!

Salah satunya adalah nafsu!

Dan nafsuku sekarang aku ingin menjadi sutradara!

Salahkah dengan apa yang aku tuju?

Salahkah kalau aku membahagiakan diriku sendiri?

Apa yang salah dari cita-citaku?

Itu yang selalu kulontarkan namun mereka hanya berkilah, mereka yang sedari kecil hidup serba kecekupan menginginkan anaknya menjadi 'orang'.

Mereka yakin dengan menjadi bidan hidupkan akan lebih baik dari mereka.

Dengan menjadi bidan aku akan mendapatkan kebahagiaan dan dengan menjadi bidan mereka bangga pada kelompok masyarakat di dusunku.

Aaaah..... Persetan dengan semua itu!

Akan aku buktikan aku bahagia dengan jalanku sendiri!

Perjuanganku belum usai, aku yakin aku bisa membuktikan bahwa dengan apa yang aku pilih aku lebih bahagia seratus kali lipat dibandingkan jalan hidup yang mereka tawarkan.

Harapanku belum sirna karena masih ada satu lagi 'teman' yang mungkin merupakan jawaban dari permasalahanku ini.

Dialah Saras harapan terakhirku.

Sengaja aku menaruhnya pada urutan terakhir karena alasan-alasan sosialisasi yang jarang kami bangun ketika masih di bangku SMA dulu.

Seingatku hubungan kami sebatas teman sekelas di kelas dua selama satu semester, dan tidak banyak kenangan yang aku ukir bersamanya.

Tapi aku harus berterima kasih berkat jaringan sosial di internet yang kini sedang happening di bumi ini, jalinan komunikasi itu tersambung kembali.

Kami hanya saling berkomunikasi lewat media sosial dan hal itu terjadi di awal tahun kelas tiga.

Tiba-tiba ia yang menambahkan aku sebagai daftar temannya di salah satu jaringan sosial on-line ternama.

Dan hubungan teman 'maya'-pun terjalin, walau kenyataannya di dunia nyata kami tak seakrab saat kami bercengkrama lewat jaringan internet.

Namun hubungan itu tak berjalan lama, seiring waktu teman 'maya' hilang dari kami dan kami berdua kembali menjadi orang asing.

Hanya sesekali menyapa dan basa-basi standar bila tak sengaja bertemu.

Atau sahut menyahut saling membalas di kolom komentar.

Saat mencoba memasukkannya pada daftar permohonan proposal, aku sempat sangsi bila Saras akan tertarik akan permasalahanku.

Maka dari itu, aku menaruhnya dalam daftar terkahir, namun sikap skeptis ku itu disambut riang olehnya, dan sekarang aku masih menaik-turunkan kakiku bagai penjahit.

Pandanganku kembali tertarik pada lampu kristal yang bertengger megah seakan menembus langit.

Karena langit-langit rumah terlukiskan awan putih terang dan langit biru cerah, seakan-akan menggambarkan bahwa lampu tersebut adalah matahari bagi ruangan ini.

Jendela rumah yang tingginya sekitar lima meter, langsung menghadap taman menyuguhkan hijaunya daun-daun flora dari berbagai daerah tropis bumi ini.

Belum lagi sofa yang memanjakan bokongku seakan-akan aku menduduki awan lembut, serta bergagai dekorasi pendukung yang menghiasi ruangan itu bagai salah satu chamber Istana Khayangan.

Dan saat itu juga aku memasukkan daftar baru dalam mimpiku berikutnya.

Aku akan membangun istana ku dengan tanganku, dengan tekadku dan perwujutan dari cita-citaku yang tercapai.

Baru satu menit menjelajah pada khayalan ku tiba-tiba ada suara wanita sedikit berat yang mengembalikanku ke bumi.

"Mbak.... Ini di silakan diminum! Non Saras baru mandi katanya tunggu sebentar." wanita setengah baya dengan sopan menyajikanku minuman berwarna hijau pekat dalam gelas bening.

"Matur nuwun Bu....."

"Sami-sami, mohon diri ke belakang dulu Mbak...." katanya sopan lalu meninggalkanku dalam kecanggungan.

Selang beberapa menit Saras datang dengan wajah cerah cantiknya.

Menyambutku dengan pelukan.

"Nggak nyasar kan?" aku hanya menggeleng.

Lihat selengkapnya