12 Maret 2016
Arloji yang melingkar di lengan sudah beberapa kali dilirik lelaki itu. Menaruh cemas dalam hati. Pikiran negatif terus menerus membayangi dengan kemungkinan terburuk kalau ia datang terlambat lagi.
“Pak Tono, bisa dipercepat sedikit lagi? Saya sudah terlambat lima menit menuju acara bedah buku saya,” suruh Ervano dari jok belakang mobil.
“Sabar, Pak Ervano. Bapak juga lihat sendiri ‘kan. Jalan di depan kita sedang macet,” balas Tono sambil tetap fokus pada setir.
Ervano menghela napas pasrah. Ia memilih menatap jalan raya di hadapan mata dan berharap kemacetan akan berangsur-angsur berkurang. Kali ini dia akan mendapat semprotan nasihat sang manajer untuk kedua kalinya. Merenungi kesalahan rupanya menjadi pilihan tepat. Membunuh kebosanan terjebak dalam kemacetan.
Renungan Ervano berlangsung cukup singkat digugurkan nada handphone serta getaran mengagetkan dalam saku celana jins biru gelap.
“Ha-lo.” Kini lelaki muda itu menaruh handphone di telinga kanan. Nada bicara Ervano agak bergetar, berusaha menyembunyikan kegugupan.
“Kamu lagi di mana sekarang? Ini sudah hampir lewat sepuluh menit dari jam acara normal,” tanya sang manajer tanpa banyak basa-basi.
“Saya lagi terjebak macet di jalan Letjen Suprapto. Keterlambatan ini benar-benar di luar perkiraanku,” bela Ervano.
“Saya tidak mau tahu apa alasanmu. Secepatnya kamu harus segera sampai di Hotel Fraser Residence Menteng,” tutup sang manajer dari seberang sana.
Tak terdengar lagi suara sang manajer di handphone lelaki itu. Ervano kembali menyimpan handphone ke dalam saku celana lalu merebahkan kepala di sandaran jok. Melepas penat di kepala sejenak.
Mimpi apa ya, aku semalam? Kok bisa sesial ini?
***