Tidak memakan waktu cukup lama, Ervano tiba di percetakan milik istrinya. Cukup menjaga laju sepeda motor konstan pada kecepatan 60 km/jam untuk menempuh perjalanan sejauh enam kilometer. Begitu melepas helm, Ervano meletakkan sepeda motor di area parkir tempat para pegawai percetakan juga memarkirkan kendaraan mereka.
Seperti biasa, percetakan ini selalu ramai dengan aktivitas para pegawai. Liane Fayani, istri Ervano sekaligus owner CV. Lifay Media. Perempuan semampai itu sedang mengamati pekerjaan para pegawainya. Dua orang laki-laki sedang melakukan finishing pada signatures. Sebelum diproses lebih lanjut ke bagian penjilidan, perempuan itu mengecek apakah kertas yang dipakai sudah sesuai dengan standar kualitas sekaligus mengecek apakah tinta meresap merata pada signatures.
“Oke, cukup bagus. Berikan ke Ibu Liyana, bagian penjilidan sekaligus diberi soft cover Art Carton 260 gsm,” perintah perempuan itu. Para pegawai mengangguk pelan sambil melanjutkan tugas mereka.
Saat kedua lelaki itu pergi, Ervano segera menghampiri perempuan itu.
“Perempuan yang berdedikasi pada pekerjaan. Itu yang kusuka dari kamu, Liane Fayani. Makanya aku memutuskan untuk menikahi kamu,” gombal Ervano. Ia berdiri di samping Fayani.
“Gak usah sok-sokan manggil nama lengkapku. Oh ya, jangan sok ngegombal juga,” sahut Fayani tanpa menoleh ke arah suaminya. Tapi Ervano tahu kalau lesung pipi istrinya sempat memerah.
“Oh ya, manajer kamu datang.”
“Maksud kamu, Violana?” tanya Ervano memastikan.
Fayani mengangguk pelan. “Dia lagi main-main sama anak kita.”
Ervano melihat dengan kedua matanya kalau perempuan setinggi 163 sentimeter itu sedang bermain kejar-kejaran dengan anaknya. Gelak tawa si anak perempuan melengking dalam percetakan ketika manajer Ervano dengan gemas mengejar anak perempuan itu.
“Ayo lari yang kencang, Nak. Jangan sampai kamu diterkam tante galak itu,” ucap Ervano sambil memberi semangat pada anaknya.
Si anak perempuan yang mengetahui sang ayah sudah datang, segera mempercepat lari kedua kaki mungil itu menuju sang ayah yang masih berdiri bersama dengan ibunya.
“Ayaaahhh,” sorak anak perempuan itu sambil menyongsong ke dekapan sang ayah.
“Itu anak kamu?” tanya Violana.
“Ya. Namanya Erya Uli Favani. Umurnya baru dua tahun.” Ervano memindahkan sang anak ke pangkuan ibunya. Sambil menyampirkan kain gendongan ke tubuh sang anak, membawa sang anak pergi meninggalkan sang ayah.
“Dadda, ayah,” ujar sang anak sambil melambaikan tangan mungilnya.
Ervano juga balas dengan melambaikan tangannya.