16 Januari 2013
Jemari kurus itu masih giat menekan papan tombol. Bola mata memerah. Sesekali air mata tampak menggenang di pelupuk mata. Tapi diabaikan pedih mata demi menghasilkan untaian kata membentuk kalimat pada novel buatannya.
Sekarang dua manusia berbeda jenis kelamin itu sudah berhadapan. Dengan posisi ini tidak menutup kemungkinan pertarungan akan terjadi. Sebelum benturan fisik itu terjadi, sosok lelaki yang mempunyai wajah seperti perempuan lebih dahulu berbicara.
“Aku salut padamu. Seorang perempuan datang sendiri ke sini untuk menjumpaiku. Apa yang menuntunmu bisa sampai ke tempat ini?”
“Melihat pola pembunuhan yang kamu lakukan kamu lakukan, aku sudah mendapatkan kesimpulan. Pertama, kamu selalu memilih tempat atau lokasi sepi atau tidak terlalu banyak aktivitas untuk melakukan aksi pembunuhan. Yang kedua. Kamu tidak memilih korban secara sembarangan. Kamu sudah mengintip target yang kamu incar dan menunggu saat mereka sedang lengah atau bepergian sendiri. Dan yang ketiga, lokasi yang kamu pilih sebagai tempat eksekusi merupakan tempat yang sudah kamu ketahui terlebih dahulu seluk beluknya. Begitu juga korban yang kamu pilih. Semua mengacu pada orang-orang yang punya porsi kesalahan yang menurutmu tidak bisa ditoleransi. Wanita tuna susila. Pria hidung belang. Orang kaya yang sombong dan kikir. Orang yang mengemis dengan tujuan memperoleh kekayaan secara instan. Pedagang yang bermain curang dengan harga dan kualitas barang jualan. Dan terakhir... kamulah yang membunuh Ahmad Sofari. Seorang anggota DPRD Jakarta Selatan yang terlibat korupsi dana BOS,” urai perempuan itu panjang lebar sambil mengangkat revolver tepat di kening lelaki itu.
“Hahahaha, analisa yang bagus, perempuan manis. Boleh aku tahu siapa namamu?”