Beberapa jam berlalu. Akhirnya seseorang memasuki kelas mereka. Beliau adalah Mas Aruna, guru muda yang baru dua tahun mengajar olahraga di SMA BN. Mas Aruna ini adalah idola baru para remaja cewek. Selain karena punya wajah cukup ganteng dan tubuh atletis, dia adalah orang yang ramah dan mudah dekat dengan muridnya. Plus, dia belum menikah. Cocok jadi incaran remaja SMA yang sedang labil-labilnya. Dia juga meminta siswanya untuk memanggilnya ‘mas’ dan bukannya ‘pak’.
“ Semuanya sudah berkenalan?” Tanyanya antusias. Kelima siswa itu hanya saling lirik tanpa tahu berkata apa. Mas Aruna menepuk tangannya.
“ Ya sudah. Karena kalian berasal dari kelas yang berbeda, kita perkenalan saja. Mulai dari ujung sana.” Ia menunjuk Bara. “ Ayo kamu duluan, maju dan perkenalkan dirimu!”
Setelah bicara demikian, Mas Aruna menyeret kursi gurunya dan duduk antara Radit dan Nana, bersedekap menghadap ke depan. Bara hanya memandang sekilas tanpa ekspresi dan berjalan ke depan. Ia memandang semua orang dengan tatapan khasnya, tajam namun tanpa ekspresi.
“ Bara Adinata dari kelas C.” Katanya singkat sebelum mundur kembali ke tempat duduknya. Nana tidak sadar bahwa Bara sudah kembali duduk. Ia baru saja sadar bahwa dia mendengar suara Bara untuk pertama kalinya. Suaranya dalam dan tegas. Nana menoleh ke arah Bara, menebak-nebak karakter seperti apa sebenarnya dia. Yang dipandangi sudah duduk anteng dan menunggu perkenalan selanjutnya. Sedangkan Mas Aruna sudah mengangkat alis. Jelas sekali merasa tidak puas dengan perkenalan super singkat tadi.
“ Hobi?” tanya Mas Aruna. Semua langsung menoleh ke arah Bara. Bara menyadari semua tatapan sudah beralih kepadanya. Ia mendesah singkat, seolah bicara sangat menguras tenaganya.
“ Nggak punya.” Jawabnya mengalihkan pandangan ke whiteboard lagi. Saras tidak repot-repot menyembunyikan dengusannya.
“ Oke. Next!” Kata Mas Aruna yang sepertinya menyerah memaksa Bara bicara lebih banyak lagi. Catra maju dengan ceria.
“ Catra Satriaji dari kelas A. Hobi bermain game.” Katanya bersemangat.
“ Game apa?” Pancing Mas Aruna yang sepertinya menilai bahwa Catra adalah anak yang bisa diajak berbincang.
“ Oh, banyak. MOBA, RPG, flash game, semuanya.” Jawab Catra yang tentu saja Nana tidak mengerti.
“ Sering ikut lomba e-sport?” Tanya Mas Aruna lagi. Murid yang lain mengerutkan kening kecuali Bara.
Catra hanya mengangkat bahu, “ Sejauh ini cuma DOTA, LOL, counter strike.”
“ Kamu suka komputer?” Tanya Mas Aruna lagi. Kali ini Catra mengangguk bersemangat.
“ Bisa ngerakit PC?”
Catra mengangguk lagi, “ Ada satu dirumah.”
Mas Aruna memandang Catra dengan berbinar, “ Jadi bakat kamu sebenarnya di teknologi. Oke, next!”
Catra membungkuk. Dia turun digantikan Saras. Pandangan angkuhnya menyapu seluruh ruangan.
“ Anindita Sarasvati dari kelas Internasional. Hobi belajar. Selalu juara satu sejak kelas satu SD dan nggak ngerti kenapa masuk ke kelas F!” Katanya menumpahkan emosinya sembari memandang mas Aruna lekat-lekat. Mas Aruna hanya mengangkat alis menerima pandangan tajam Saras.
“ Karena kamu paling pintar, kamu ditugasi dewan sekolah untuk membimbing mereka.” Jawab laki-laki itu sabar.
“ Nggak percaya! Pasti ada apa-apanya!” Katanya berjalan kembali ke tempat duduknya.
“ Belajar itu bukan hobi. Itu kewajiban.” Celetuk Radit tanpa disangka.
Saras memandang Radit bengis, “ Terserah. Itu hobiku dari dulu. Paling nggak hobiku berguna untuk masa depan. Sedangkan kamu apa? Mau jadi atlet basket tanpa masa depan? Kalau di Amerika sih aku percaya!”
“ Paling nggak aku seneng basket dibandingkan kamu yang pinter tapi mulutnya nggak sopan!” Balas Radit.
Saras sudah bangun dan bertolak pinggang. “ Makan tu seneng! Besok kalau kamu bisa beli mobil sama ‘seneng’ nya kamu, aku dikasih tahu!”
“ Kamu mau beli rumah pakai galakmu itu? Mau malak developer-nya?” Jawab Radit tidak mau kalah.
Duh!
Nana memandang keduanya bergantian dengan cemas. Mas Aruna berdehem. Saras memelototi Radit dan duduk kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Radit mendesah lelah. Mas Aruna menepuk pelan meja Nana, menyadarkannya. Nana maju dengan gugup.
“ Kirana Mahestri dari kelas B, panggilannya Nana. Hobi membaca dan menulis.” Katanya pelan.
“ Apa?” Tanya mas Aruna sembari mencekungkan telapak tangannya dan diletakkannya di telinga kirinya.
Nana menelan ludah dan mengeraskan suaranya, “Kirana Mahestri dari kelas B, panggilannya Nana. Hobi membaca dan menulis.”
Mas Aruna tersenyum, “ Nah begitu kalau bicara. Kamu bicara tapi suara kamu tidak bisa didengarkan oleh orang lain itu sia-sia. Dan lain kali kalau kamu bicara, tatap lawan bicara kamu dengan berani. Jadi Nana, kamu suka baca dan tulis ya? Pernah kirim tulisan kamu ke penerbit?”
Nana mengerjap. Pekerjaannya sebagai penulis adalah rahasianya. Dia merasa malu jika ada orang lain yang mengetahui bahwa dia penulis. Bukan! Bukan Profesinya. Tapi dia malu membayangkan orang lain membaca naskahnya dan menilainya buruk. Makanya, selama ini dia memakai nama pena. Agar ia bisa tetap berada di keramaian dengan percaya diri terlepas dari tanggapan pembaca darinya. Padahal kata penerbitnya, bukunya lumayan laris pasaran. Makanya dia diminta membuat satu cerita lagi. Meskipun demikian, Nana masih belum percaya diri.
Di lain pihak, dia tidak mau berbohong. Akhirnya, dia mengangguk dengan takut-takut.
Di luar dugaan, Mas Aruna tersenyum dan berkata “ Bagus! Paling tidak kamu sudah berani menunjukkan karyamu. Next!”
Nana yang hampir yakin dirinya akan ditanyai seputar ‘nama penerbitnya apa? judulnya apa? Ceritanya tentang apa?’, merasa terkejut. Tapi Mas Aruna hanya tersenyum dan mengedik ke kursinya, menyuruhnya duduk karena Radit sudah maju ke depan dengan percaya diri.
“ Adi Raditya dari kelas A, biasa dipanggil Radit. Hobi bermain basket, voli, sepakbola dan cabang olahraga lainnya.” Katanya antusias.