Ini mimpi apa bukan, sih?
Hampir lima menit Nana melotot ke arah papan pengumuman. Tapi dia tetap tidak paham. Tulisan tebal ‘PENGUMUMAN BAGI KELAS TIGA’ pun terpampang jumawa di bagian atas kertas itu. Mengundang siapapun yang merasa dirinya kelas tiga SMA untuk mendekat, termasuk Nana. Di bawahnya, terdapat keterangan bahwa lima nama dibawah ini pindah ke kelas F.
Selesai.
Singkat, kan? Tapi tunggu dulu. Masalahnya, selama ini SMA ANGKASA hanya mempunyai lima kelas. Kelas 1, 2, 3 yang dihuni anak IPA dan IPS reguler, D yang berisi anak-anak program Internasional dan E kelas program akselerasi. Lagipula setahu Nana, tidak ada sistem acak kelas lagi ketika naik ke kelas 3.
“Na, ini…apa? Kamu nggak dikasih tau apa-apa nih sama pihak sekolah? Kapan ada kelas F?” Vanya yang berdiri di sampingnya ikut-ikutan mengernyit. Nana menggeleng dan memperketat kacamatanya.
“ Nggak, aku nggak tahu,” balas Nana cemas pada mantan teman satu kelasnya.
Vanya menepuk bahu Nana dan menatapnya khawatir. “Ini nggak ada hubungannya sama nilai kamu, kan?”
Nana meringis. Dia tahu Vanya tidak bermaksud apa-apa. Tapi nilai kenaikan kelasnya memang hancur. Gara-gara Nana putus cinta tepat sebelum ujian dimulai, fokus Nana jadi berantakan. Bodoh memang.
Vanya kembali mengamati papan pengumuman sambil mengusap dagunya.
“Aneh ya? Mereka ini anak-anak yang nggak biasa lho.” Vanya berkomentar, membuat Nana mengernyit.
“ Duh Na, makanya jangan di kelas terus. Itu sekolah juga diperhatikan dong!” Hardik Vanya gemas. “ Si Bara dari kelas C itu si cowok fifty-fifty, karena di setiap ujian dia selalu dapat skor lima puluh makanya dia selalu dapat ranking paling bawah. Si Catra dari kelas A itu terkenal hitech banget. Kalau si Radit, masa kamu nggak kenal? Dia legenda olahraga sekolah ini. Tapi masalah akademik kayaknya dia kewalahan.” Lalu mata Vanya melebar tidak percaya saat membaca nama terakhir. “ Saras? Saras si cewek genius itu?”
Kemudian Vanya menoleh secepat kilat ke arah Nana yang sedari tadi mendengarkan Vanya dengan penuh minat. “ Kelas F itu sebenarnya apa sih? Kok ada yang bodoh tapi ada yang pinter banget?”
“Jangan bilang begitu.” Nana menegurnya. Walaupun dirinya sudah biasa dipanggil bodoh dari dulu, tapi mendengar Vanya bicara seperti itu dia juga ikut tidak enak. Vanya mengangkat bahu.
“ Lagipula itu bukan urusan gue. Gue cuma penasaran aja. Daaaa Nana, mau ke kantin dulu.” Vanya melenggang pergi meninggalkan Nana. Sedangkan gadis itu masih saja berdiri bingung. Namun setelah dipikir-pikir, ini bukan salah tulis seperti dugaan awalnya. Sekarang dia harus mencari keberadaan kelas F dan semua misteri pasti akan terpecahkan. Nana berbalik, namun dirinya langsung menabrak sesuatu yang kokoh dan terpental.
“ Aduh!” rintihnya. Nana membenahi letak kacamatanya dan membuka mata. Seorang anak laki-laki jangkung berdiri di hadapannya. Tingginya kira-kira 183 cm. Ia berdiri dan memandang Nana tanpa ekspresi dengan kedua tangan diselipkan di dalam saku.
“ Maaf,” ucap Nana mendahului. Laki-laki itu justru melengos dan membaca pengumuman. Nana tidak ambil pusing karena dia memang sudah sering mendapat perlakuan serupa. Baru saja dia akan beranjak dari tempatnya, orang yang paling dia benci datang karena tertarik oleh tulisan di pengumuman. Nana menelan ludah dan berusaha kabur tanpa bersuara, namun Danu keburu melihatnya.
“ Na, ini kamu?” Tanyanya tanpa dosa. Nana tidak repot-repot menanggapi dan mengambil langkah seribu. Tapi belum sempat di berlari jauh, Danu keburu menangkapnya.
“ Kamu masih marah?” tanya Danu mengerutkan kening seolah tidak mengerti mengapa gadis berkepang dua di depannya ini marah. Nana hanya diam sambil berusaha menghentakkan tangannya dari Danu. Beberapa siswa lain sudah berhenti dan menonton mereka penuh minat, termasuk cowok jangkung tadi. Dia dan siswa yang lain tampaknya tidak ada yang ingin menyelamatkan Nana. Mereka justru menonton seakan ini live drama.
“ Lepas!” gertak Nana emosi.
“ Nggak! Aku pingin tahu alasannya kenapa kamu marah. Aku ‘kan sudah bilang alasannya kita putus!” kata Danu keras kepala.
“ Aku nggak pingin ngasih tahu kamu. Lepas, nggak?” teriak Nana tidak kalah keras kepala.
“ Cewek ini benar-benar…”
“ Apa? Mau bilang aku cewek apa lagi? Kamu nggak malu kita dilihat banyak orang?” tantang Nana.
“ Kenapa harus malu? Aku cuma pingin tahu alasan kamu marah! Sekarang jawab! Kucing mana yang nggak kepingin ditawari ikan asin didepannya, Na?”
Kucing? KUCING?
Habis sudah kesabaran Nana. Secepat kilat ia justru menarik tangan Danu dan menggigitnya. Danu berteriak kesakitan dan melepaskan Nana.
“ Eh cewek! Sakit tahu!” teriaknya emosi.
“ Aku kucing pingin makan tangan kamu yang kurus kayak ikan asin!” sahut Nana naik pitam. “ Kamu nggak pernah tahu apa yang namanya sakit! Segitu saja udah dibilang sakit? Cengeng kamu!”
Danu yang terkejut, kini kehabisan kata-kata. Mulutnya bergerak-gerak seperti ikan tanpa air sembari mengusap tangannya. Ia merasa malu karena akibat adegan tadi, justru dirinya yang terlihat lemah saat melawan perempuan. Beberapa siswa tampaknya melihatnya dengan cengengesan. Nana tidak ambil pusing dan langsung berlari secepat kilat pada kesempatan pertama.
Sakit katanya? Dia tidak mengerti apa itu namanya sakit! Kalau segitu saja sudah sakit, apa nama perasaannya saat ini? Rasanya seperti dirinya dihujam seribu belati secara bersamaan. Nana ingat saat ia menyukai Danu, ketua kelasnya. Nana merutuki dirinya yang dengan mudah terbujuk rayuan Danu untuk menjadi pacarnya saat dia memuji Nana bahwa Nana adalah gadis pendiam dan polos. Baru beberapa bulan mereka bersama, Danu kemudian menelfon Nana untuk mengajaknya putus. Nana hanya diam saat mendengar alasannya. Tanpa bersalah, Danu mengatakan padanya bahwa ia sudah merasa bosan dengan hubungan mereka. Paginya, Danu sudah bersama Shinta, teman Nana yang memang terkenal cantik, manis dan pintar. Sangat bertolak belakang dengan Nana.