Biru langit. Sengat matahari. Semilir angin. Suara-suara samar dari lapangan. Semuanya beradu-padu. Tapi tak mampu menuntaskan sesak dalam dada cewek itu. Sendirian dalam keramaian. Sepi dalam bising. Paradoks yang entah bagaimana harus menggambarkannya.
"Lo tau nggak, sih, kalau Adhika Gemilang sama Rindang Azalea ternyata cinlok?"
"Ema, bisa nggak, kalau foto-foto kita yang ada di sosmed dihapus?"
"Ema! Dari dulu mama kan udah bilang, harus masuk jurusan IPA, harus jadi dokter! Liat dong kakak kamu!"
"Eh, Kamseupay! Lo ke mana aja, sih, beliin makanan aja lama banget?! Gue bikin botak tau rasa lo!"
Suara-suara itu datang bergantian. Suara teman-teman sekolah yang bergosip. Suara sang pacar yang digosipkan dekat dengan cewek lain. Suara Mama. Suara ketua geng yang sudah hampir setahun membulinya.
Ema muak dengan semuanya.
Pengkhianatan. Harapan. Perisakan. Kesepian. Keputusasaan. Penderitaan.
Tidak ada pilihan lain selain mengakhiri semuanya.
Perlahan, kaki Ema mulai mendekati ujung atap. Semakin dekat, jantungnya makin berdebar. Ia takut loncat. Tapi sudah tidak tahan menghadapi kenyataan. Ia takut mati. Tapi sudah lelah menghadapi bully-an kakak kelasnya tiap hari.
Sudah hampir setahun ia dibuli. Teman-teman kelasnya menyaksikan, bahkan mungkin seluruh kelas XI IPS tahu. Jangankan membelanya, mereka yang saat awal kelas X dekat dengan Ema pun perlahan menjauh. Takut ikut-ikutan dibuli. Jadi, kalau Ema mati hari ini, dia berharap ada satu orang yang berani buka suara atas pembulian yang dilakukan geng Cantique. Berharap kematiannya bisa menjadi hukuman setimpal bagi seorang Amanda Gayatri. Dan juga teman-temannya yang 'bisu' pada bullying yang diterimanya.
Ema mulai naik ke pembatas atap. Dipejamkannya mata erat-erat. Dikuatkan hati bulat-bulat.