Di tepi danau itu, Arthan duduk sendirian. Isak tangisnya sudah mereda, menyisakan napas berat dan air mata yang menggantung di pipinya. Ia menatap permukaan air yang tenang, pantulan wajahnya yang penuh kesedihan terlihat jelas di sana. Namun, pikirannya melayang ke mimpi semalam—mimpi tentang gadis tanpa wajah.
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat kembali setiap detail mimpi itu. Taman bunga yang penuh warna, kupu-kupu yang beterbangan, dan tawa lembut gadis itu. Rasa damai kembali mengalir dalam dirinya, menghapus luka hati yang tadi menguasainya.
Ia mengingat bagaimana gadis itu memegang tangannya, menariknya berlari melewati taman yang indah. Ia mengingat pelukan hangat itu, perasaan dihargai dan dicintai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Senyum tipis terbentuk di wajah Arthan. Untuk pertama kalinya sejak pagi itu, ia merasakan kehangatan yang membalut hatinya. Namun, ketika ia mencoba menggali lebih dalam, wajah gadis itu tetap kosong. Semakin ia berusaha mengingat, semakin memudar bayangan itu dari pikirannya, seperti pasir yang hilang terbawa ombak.
“Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?” gumam Arthan dengan nada frustrasi. Ia membuka matanya kembali dan menatap danau. “Siapa kamu? Kenapa aku merasa begitu rindu?”
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, suara riuh dari kejauhan mulai terdengar. Jam sekolah telah usai, dan para siswa mulai pulang. Tepian danau ini adalah jalan tercepat untuk kembali ke desa, sehingga banyak siswa melewatinya.
Di antara mereka, tiga siswa yang dikenal Arthan dengan baik mendekati tempatnya duduk: Arya, Bimo, dan Aji. Mereka adalah orang-orang yang sering kali menjadi sumber penderitaan Arthan di sekolah.
Arya, pemimpin kelompok itu, menyenggol lengan dua temannya dan tersenyum licik. “Lihat siapa yang sedang duduk merenung seperti orang bodoh. Si gendut penyedih!” katanya dengan suara keras sehingga Arthan bisa mendengarnya.
Arthan tetap memandang danau, mencoba mengabaikan mereka. Namun, Arya tidak puas dengan itu. Ia memberi isyarat kepada Bimo dan Aji untuk mendekat lebih pelan.
“Ssst, kita buat dia jatuh,” bisik Arya sambil tersenyum penuh rencana.
Arya melangkah dengan hati-hati, mengendap-endap ke belakang Arthan. Saat sudah cukup dekat, ia berteriak keras, “HEI, SI GENDUT!” sambil mendorong Arthan dengan kedua tangannya.
Arthan, yang tidak menyadari kehadiran mereka, kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terguling ke depan dan tercebur ke danau, menciptakan percikan air yang besar.