Langkah Arthan yang berat membawanya masuk ke hutan di belakang desa. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi ia tahu satu hal: ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Hutan ini adalah tempat yang jarang dikunjungi orang-orang desa, sehingga ia merasa aman untuk meluapkan semua yang ada di hatinya.
Pepohonan yang rimbun menaungi langkahnya, dan suara angin yang berdesir di antara dedaunan menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanan itu. Sesekali, Arthan menendang kerikil kecil di depannya, seolah mencoba melampiaskan amarah yang terpendam.
Hingga akhirnya ia tiba di sebuah genangan air kecil yang jernih. Arthan berhenti dan menunduk, menatap bayangan dirinya yang tercermin di permukaan air. Wajahnya yang bulat, pipinya yang montok, dan tubuhnya yang gemuk—semuanya terlihat begitu jelas.
Ia memejamkan mata, lalu membukanya lagi, berharap bayangan itu berubah. Tapi tidak, itu tetap dirinya, dan ia merasa muak.
“Kenapa…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia meremas bajunya di bagian dada, lalu menginjak genangan air itu dengan keras hingga pantulannya hancur berantakan.
“Kenapa aku terlahir seperti ini? Kenapa aku harus jadi seperti ini?!” teriaknya. Tangannya mengepal, dan air mata kembali mengalir di pipinya.
Arthan jatuh berlutut di tepi genangan itu, tubuhnya bergetar karena tangis. Ia merasa seperti beban dunia ini ada di pundaknya. Ia ingin menyerah, ingin berhenti. Tapi, tiba-tiba sebuah suara lembut muncul di benaknya, suara neneknya.
“Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri dan membenci dirimu, Arthan,” kata suara itu, mengulang nasihat neneknya yang sering ia dengar. “Jika kamu menyalahkan dirimu, berarti kamu menyalahkan Sang Pencipta yang sebaik-baiknya pembuat rencana.”
Arthan menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia mengingat percakapan dengan neneknya beberapa minggu lalu, ketika ia pertama kali bertanya, Kenapa semua masalah ini datang kepadaku?
Saat itu, neneknya menjawab dengan bijak, “Itulah hidup, nak. Di dunia ini tidak ada yang namanya keadilan sempurna. Dunia adalah tempatnya berjuang. Kamu akan terus melangkah dari satu masalah ke masalah lainnya. Tapi ingat, setiap masalah akan membuatmu lebih kuat, lebih dewasa, dan lebih memahami orang lain.”
Neneknya melanjutkan, “Jika tidak ada masalah, bagaimana manusia bisa belajar tentang kesetaraan, kesabaran, dan kedewasaan? Masalah-masalah itu adalah guru kehidupan, Arthan. Jangan pernah menyerah.”
Kata-kata itu, meskipun sulit dipahami oleh Arthan saat itu, kini mulai terasa masuk akal. Ia menarik napas panjang dan menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Aku harus kuat,” bisiknya pada dirinya sendiri. Ia memaksa bibirnya untuk tersenyum, meskipun hatinya masih terasa berat.
Saat ia bersiap untuk meninggalkan tempat itu, matanya tertuju pada sebuah bunga mawar merah yang tumbuh di tengah semak belukar. Mawar itu tampak indah, meskipun dikelilingi oleh duri dan tumbuhan liar yang hampir menutupi keindahannya.
Arthan mendekati bunga itu dan berjongkok. Ia menyentuh kelopak mawar itu dengan lembut, seolah-olah takut melukainya. “Kamu bisa tumbuh di sini,” gumamnya. “Di tempat yang penuh duri dan semak, tapi kamu tetap indah.”
Ia memetik bunga itu dengan hati-hati, lalu berdiri. Mawar merah itu kini ada di tangannya, dan ia merasa bunga itu seperti berbicara padanya dan memberikan semangat untuk terus bertahan.
Dengan bunga itu di tangan, Arthan berjalan keluar dari hutan, menuju rumahnya. Langit sudah mulai berubah warna menjadi jingga, menandakan matahari akan segera tenggelam.
Sesampainya di rumah, neneknya langsung menyambutnya dengan senyum hangat seperti biasa. Meskipun Arthan sering merasa dunia ini kejam, neneknya adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa aman dan dicintai.
“Kamu pulang terlambat, nak. Apa yang kamu lakukan di luar?” tanya neneknya sambil berjalan mendekat.
Arthan menunjukkan bunga mawar yang dibawanya. “Aku menemukan ini di hutan, Nek. Mawar ini tumbuh di tengah semak belukar yang hampir menutupinya.”