Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #4

Pertemuan dengan Petuah Mimpi

Arthan terbangun dengan tubuh yang berkeringat dingin dan napas yang terengah-engah. Ia menatap langit-langit kamarnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia alami.

Namun, saat ia menyentuh pipinya, ia merasakan air mata yang mengalir. Ia terisak pelan, merasakan kerinduan yang begitu mendalam—kerinduan terhadap sesuatu yang tidak sepenuhnya ia pahami.

“Kenapa aku merindukanmu?” bisiknya, suaranya dipenuhi rasa sakit. “Siapa kamu… kenapa kamu selalu muncul di dalam mimpiku?”

Ia melirik bunga mawar yang ada di jendela kamarnya. Cahaya rembulan menerangi bunga itu, membuatnya terlihat seperti benda hidup yang sedang tersenyum padanya.

Arthan tidak tahu apa arti semua ini. Tapi satu hal yang pasti—ia merasa kosong, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang saat ia bangun dari mimpi itu.

Ia mencoba mengingat apa yang pernah neneknya katakan suatu ketika. "Mimpi bukan hanya bunga tidur, nak. Kadang, mimpi bisa jadi cara Tuhan berbicara pada kita. Terutama jika kamu bermimpi tentang sesuatu yang berulang, mungkin itu tanda bahwa kamu perlu mencari jawabannya."

Arthan mendadak berlari keruang tamu, neneknya yang sedang melihat pemandangan desa di jendela, arthan langsung menghampiri nenek.

“Nenek,” panggil Arthan, suaranya setengah berbisik.

Neneknya yang sedang merapikan selimut di kursi rotan menoleh pelan. "Ada apa, nak? Pagi-pagi begini kok belum kamu sudah bersemangat saja?"

“Nek, aku… aku ingin bertanya sesuatu. Tentang mimpi. Tentang gadis tanpa wajah itu,” ucapnya terbata-bata, takut ucapannya terdengar terlalu aneh.

Neneknya mengerutkan kening, lalu tersenyum lembut. “Ah, mimpi itu lagi. Kamu tahu, Arthan, aku sudah mendengar banyak cerita tentang mimpi seperti milikmu. Beberapa orang bilang itu hanya imajinasi, tapi aku percaya setiap mimpi punya makna, tapi nenek tidak tau dengan detail apa maknanya, kamu harus pergi menemui Petuah Mimpi di desa ini.”

“Nenek, apa ini ada hubungannya dengan Petuah Mimpi?” tanya Arthan dengan nada mendesak.

Neneknya mengangguk pelan. “Betul. Kau bisa pergi ke sana jika ingin tahu lebih banyak. Tapi… aku tidak bisa menemanimu. Kaki nenek sudah tidak kuat berjalan sejauh itu.”

Arthan memandang neneknya penuh rasa kasihan. “Tak apa, nek. Aku bisa pergi sendiri. Aku hanya perlu tahu jawabannya.”

Neneknya tersenyum dan mengusap kepala cucunya. “Baiklah, hati-hati di jalan. Oh, tunggu sebentar.” Neneknya meraih ponsel jadul yang ada di meja dan menekan tombol panggilan.

“Nenek, mau apa?” tanya Arthan penasaran.

Lihat selengkapnya