Kakek Petuah mimpi itu duduk di depan Arthan yang sedang bercerita. Cerita yang baru saja ia dengar sama dengan apa yang terjadi pada sejarah yang ia tahu. Kakek tua itu menghela napas panjang, seolah-olah berat untuk menceritakan kembali kisah yang tampaknya lebih dari sekadar dongeng.
“Arthan,” panggil kakek itu dengan nada tegas, “mimpimu ini bukan mimpi biasa. Gadis tanpa wajah yang kamu temui bukan sekadar simbol dari apa yang hilang dalam dirimu. Gadis itu membawa pesan yang lebih besar, lebih serius. Ia adalah simbol dari sejarah yang hampir terlupakan, sejarah yang mungkin akan terulang.”
Arthan mengernyitkan dahi. “Sejarah? Sejarah apa, Kek?”
Kakek itu mengetuk tongkatnya ke lantai kayu beberapa kali sebelum memulai ceritanya. “Ini adalah kisah lama yang diwariskan turun-temurun di desa ini. Orang-orang menyebutnya ‘Darma dan Clara.’”
Arthan menelan ludah, hatinya berdebar, seolah nama-nama itu membawa beban yang ia tak pahami.
“Kisah Darma dan Clara, Darma adalah seorang anak lelaki malang yang lahir dari hubungan di luar pernikahan. Kehidupannya penuh dengan hinaan, ejekan, dan makian. Orang-orang di desanya memandang rendah dirinya, menyebutnya sebagai aib keluarga dan anak terkutuk. Namun, meskipun dunia nyata begitu kejam, Darma menemukan pelarian di dalam mimpinya.
Sejak usianya menginjak 17 tahun, Darma mulai bermimpi tentang seorang gadis. Gadis itu selalu ada di tempat yang sama—taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni dan angin yang menenangkan. Namun, gadis itu tidak pernah menunjukkan wajahnya. Wajahnya seperti terselubung oleh kabut tipis, membuat Darma tidak pernah tahu seperti apa rupa aslinya.
Awalnya, Darma tidak memikirkan mimpi itu terlalu jauh. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa bahwa gadis itu bukan hanya sekadar bagian dari bunga tidurnya. Setiap kali ia bermimpi, perasaan hangat dan damai menyelimuti dirinya, seolah-olah gadis itu adalah satu-satunya yang memahami dirinya.
Mimpi-mimpi itu terus berulang selama bertahun-tahun, hingga Darma menginjak usia 21 tahun. Pada suatu malam, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ingin berbicara dengan gadis itu, bertanya siapa dia sebenarnya, dan apakah ia bisa membawanya ke dunia nyata.
Namun, setiap kali Darma mencoba, lidahnya terasa kelu. Perasaan hangat dan cinta yang ia rasakan di hadapan gadis itu membuatnya kehilangan kata-kata. Ia hanya bisa menikmati kehadirannya, tanpa mampu mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.
Setelah berkali-kali mencoba dan gagal, Darma mulai merasa putus asa. Pada malam terakhir ia bermimpi, ia akhirnya menyerah. Dengan hati yang berat, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa mungkin gadis itu memang tidak nyata.
Namun, malam itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Saat Darma tertidur dengan rasa kecewa yang mendalam, ia kembali ke taman itu. Gadis tanpa wajah itu berdiri di sana, seperti biasa, menunggunya. Kali ini, Darma memberanikan diri.
‘Kamu mau ikut denganku ke dunia nyata?’ tanya Darma, suaranya bergetar.
Gadis itu menoleh ke arahnya. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap gulita, angin mulai bertiup kencang, dan suara guntur menggema di kejauhan.