Malam itu, Arthan duduk di sudut kamarnya. Udara dingin menyelusup masuk melalui celah-celah kecil di jendela kayu yang mulai rapuh. Lampu redup menyinari wajahnya yang tampak lesu. Setelah pertemuannya dengan Petuah Mimpi, bukannya mendapatkan jawaban, ia malah diselimuti oleh kebingungan yang lebih besar.
Pikiran Arthan melayang-layang, mencoba menghubungkan semua titik dari mimpi-mimpinya dengan cerita Darma dan Clara yang diceritakan oleh Petuah tadi. Namun, semakin ia mencoba, semakin kusut benangnya.
“Apa maksud semua ini?” gumamnya lirih. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat.
Rasa lelah akhirnya menyergapnya, membuat tubuhnya menyerah pada tarikan gravitasi. Ia membaringkan dirinya di kasur kecilnya yang sudah usang, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Dalam hitungan menit, kelopak matanya mulai menutup, membawa Arthan masuk ke dunia mimpi.
Arthan berdiri di tempat yang sudah tidak asing lagi baginya—sebuah taman bunga yang indah. Rumput hijau membentang sejauh mata memandang, dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni yang bermekaran. Aroma manis bunga memenuhi udara, sementara angin lembut meniup rambutnya. Namun, yang paling mencolok adalah kehadiran gadis tanpa wajah yang berdiri tidak jauh darinya.
Seperti sebelumnya, gadis itu berdiri diam, memegang bunga mawar merah di tangannya. Tubuhnya tegap, tetapi wajahnya masih kosong, tanpa mata, hidung, atau mulut. Meski begitu, Arthan merasa kehangatan yang sulit dijelaskan.
“Kau kembali,” kata gadis itu, suaranya lembut seperti desiran angin.
Arthan tertegun. Untuk pertama kalinya, gadis itu menyapanya terlebih dahulu. “Kau... kau bisa berbicara?” tanyanya, masih terkejut.
Gadis itu mengangguk pelan. “Aku hanya berbicara ketika kau siap mendengarkan, Arthan.”
Mendengar namanya disebut, hati Arthan terasa bergetar. Gadis itu melangkah perlahan mendekatinya. “Bagaimana harimu, Arthan?” tanya gadis itu, suaranya penuh perhatian.
Arthan menunduk. “Hari yang berat... seperti biasanya.”
Gadis itu tetap diam, memberi ruang bagi Arthan untuk melanjutkan.
“Aku... sering dirundung oleh orang-orang di desa. Mereka mengejek tubuhku yang kurus, mengolok-olokku karena aku tidak punya orang tua. Kadang-kadang, aku berpikir... apakah hidupku benar-benar berarti?”
Suaranya mulai bergetar, dan matanya terasa panas. Arthan tidak pernah berbicara seperti ini kepada siapa pun sebelumnya. Namun, dengan gadis ini, ia merasa aman.
Gadis tanpa wajah itu mendekatinya, lalu memeluknya erat. Pelukannya hangat, seperti selimut yang melindungi Arthan dari dinginnya dunia.
“Aku ada di sini untukmu, Arthan,” bisiknya. “Aku selalu ada untukmu.”
Pelukan itu membuat hati Arthan yang penuh luka terasa sedikit lebih ringan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa seseorang benar-benar peduli padanya.
Setelah beberapa saat, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia memegang tangan Arthan dengan lembut dan menariknya. “Ayo, ikut aku,” ajaknya dengan nada ceria.
“Kemana?” tanya Arthan, sedikit bingung.
“Ke tempat di mana kita bisa melupakan semua rasa sakit,” jawab gadis itu, senyum terasa dalam nada suaranya meskipun wajahnya masih kosong.
Ia membawa Arthan berlari melintasi taman. Rumput hijau terasa lembut di bawah kaki mereka, sementara bunga-bunga di sekitar mereka bergoyang mengikuti angin. Tidak jauh dari sana, sekumpulan kupu-kupu berwarna cerah beterbangan di antara bunga-bunga.
Gadis itu berhenti di tengah taman, dikelilingi oleh kupu-kupu. “Lihat, betapa indahnya dunia ini,” katanya sambil mengangkat tangannya, membiarkan kupu-kupu hinggap di jari-jarinya.
Arthan hanya bisa terpana. Ia tidak pernah melihat sesuatu yang seindah ini sebelumnya. Gadis itu menarik tangannya, mengajaknya menari di tengah taman.
“Tari?” tanya Arthan, sedikit gugup.