Setelah perbincangan serius mereka di belakang perpustakaan, suasana menjadi lebih santai. Arthan, yang biasanya pendiam dan suram, perlahan mulai membuka diri di hadapan Alya. Mereka berbicara tentang banyak hal—mulai dari mimpi mereka tentang dunia faceless hingga cerita-cerita ringan yang membuat Arthan tak henti-hentinya tersenyum.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, senyum Arthan kembali terukir di wajahnya. Ia merasa nyaman, bahkan aman, berbicara dengan Alya. Perasaan ini begitu asing baginya, tapi sekaligus menyenangkan.
“Ternyata kamu sangat lucu kalau tersenyum dan tertawa ya,” ujar Alya tiba-tiba sambil tersenyum jahil.
Arthan tersentak, wajahnya memerah seketika. Ia mencoba berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya gumaman tidak jelas, “Aku... aku...”
Melihat itu, Alya tertawa kecil. “Tidak apa-apa, Arthan. Aku senang akhirnya bisa melihat sisi ini darimu. Sebenarnya, aku sudah lama ingin berteman denganmu. Jadi, bagaimana? Apakah kamu mau berteman denganku?”
Kata-kata itu membuat Arthan terdiam. Ia menatap Alya dengan mata penuh kebingungan. “Teman?” tanyanya pelan, seolah kata itu adalah sesuatu yang baru baginya.
Alya mengangguk dengan penuh semangat. “Iya, teman. Apakah kamu tidak mau berteman denganku?”
Arthan menundukkan kepala, berusaha menyembunyikan rasa tidak percaya dirinya. “Seharusnya aku yang bertanya, apakah kamu tidak malu berteman denganku? Nanti apa kata teman-temanmu kalau tahu kamu berteman denganku?”
Mendengar itu, Alya meletakkan tangan di pinggulnya, lalu berkata dengan tegas, “Sudah, jangan hiraukan mereka! Kalau mereka tidak suka, berarti mereka bukan orang yang baik. Biarkan saja mereka menilai siapa pun sesuka hati. Yang penting, aku ingin berteman denganmu. Jadi, bagaimana? Apa kamu mau berteman denganku?”
Kali ini, nada suara Alya penuh keyakinan dan tulus. Arthan menatapnya sejenak, lalu perlahan mengangguk. “Aku... aku mau.”
“Bagus!” seru Alya, membuat Arthan sedikit terlonjak. “Tapi satu hal, Arthan. Kamu harus mulai menegakkan kepalamu. Jangan terus-terusan menunduk seperti itu, ya. Kamu harus percaya diri!”
Arthan merasa deja vu. Kata-kata Alya barusan mengingatkannya pada ucapan gadis tanpa wajah dalam mimpinya. Sama persis, bahkan dengan nada yang lembut namun tegas. Tapi kali ini, ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya tetap menunduk, meskipun dalam hatinya merasa ada hubungan misterius antara Alya dan gadis dalam mimpinya.
“Bagaimana kalau aku main ke rumahmu sepulang sekolah nanti?” tanya Alya tiba-tiba, memecah lamunannya.