Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #9

Rahasia di Balik Faceless Human

Hari itu, perpustakaan sejarah terlihat lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelajar sibuk mencari bahan penelitian, sementara yang lain hanya duduk menikmati suasana tenang sambil membaca buku. Di salah satu sudut yang tenang, Arthan dan Alya tengah menelusuri rak demi rak, mencari informasi tentang mimpi aneh mereka: mimpi manusia tanpa wajah.

Selama beberapa minggu terakhir, hubungan mereka semakin akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah, membahas mimpi yang tampaknya menghantui mereka berdua. Sebuah persahabatan yang dimulai dari ketulusan kini menjadi ikatan yang penuh dengan rasa penasaran.

“Arthan, coba lihat ini,” panggil Alya sambil menarik sebuah buku tua berdebu dari rak yang tinggi. Judulnya terukir dalam huruf Latin kuno, tapi cukup jelas untuk dibaca: “Faceless Legends: Sejarah dan Mitos Manusia Tanpa Wajah”.

Arthan mendekat, menatap buku itu dengan penuh antusias. Mereka segera membawanya ke meja, membuka halaman demi halaman, dan menemukan bahwa isi buku itu lebih dari sekadar legenda biasa.

Di dalam buku itu, mereka membaca bahwa mimpi manusia tanpa wajah bukan sekadar halusinasi atau fenomena biasa. Buku tersebut menjelaskan bahwa mimpi itu memiliki hubungan erat dengan dimensi lain—sebuah dunia di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi kabur.

Alya membaca dengan suara pelan, “Faceless human dianggap sebagai refleksi dari jiwa manusia yang kehilangan identitasnya. Namun, ada legenda bahwa beberapa orang yang memiliki mimpi ini sebenarnya terhubung dengan peristiwa besar yang melibatkan dunia nyata dan dunia mimpi.”

“Dunia mimpi? Maksudnya... seperti dunia paralel?” tanya Arthan, suaranya sedikit gemetar.

Alya mengangguk. “Sepertinya begitu. Tapi lihat ini,” ia menunjuk ke bagian bawah halaman. “Ada kisah tentang dua orang, Darma dan Clara, yang dikatakan bertemu dalam dunia mimpi. Mereka saling menyelamatkan dari faceless human dan akhirnya bersatu dalam dunia nyata.”

Arthan terdiam. Nama Darma dan Clara terdengar sangat familiar baginya. Ia teringat saat menceritakan legenda itu kepada Alya di rumahnya beberapa minggu yang lalu. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara langkah kaki mendekat.

Seorang wanita tua, mengenakan gaun panjang berwarna gelap dan membawa tongkat kayu, perlahan menghampiri mereka. Tatapan matanya penuh misteri, namun senyum di wajahnya memberikan kesan hangat.

“Apakah kalian tertarik dengan faceless human?” tanyanya dengan suara lembut, tapi cukup untuk membuat Arthan dan Alya saling bertukar pandang.

Alya, yang lebih berani dari Arthan, mengangguk. “Iya, kami sangat penasaran dengan mimpi itu,” jawabnya.

Wanita tua itu tersenyum tipis. “Jadi, apakah kalian sekadar tertarik, atau... kalian dihantui oleh rasa penasaran tentang dunia mimpi itu?”

Alya menatap Arthan sejenak, lalu kembali menjawab, “Kami sangat penasaran. Setiap malam, mimpi itu selalu datang, dan kami ingin tahu apa artinya.”

Mendengar jawaban itu, wanita tua itu mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau begitu, ikuti aku.”

Lihat selengkapnya