Pagi itu, suasana di sekolah tampak seperti biasanya—riuh oleh tawa, bisikan, dan langkah kaki para siswa. Namun, bagi Arthan, setiap pagi di sekolah adalah mimpi buruk yang harus ia jalani. Ia duduk di bangku depan kelas, tepat di sebelah Alya. Meski sudah bersahabat dengan Alya, perasaan cemas dan takut masih menghantui dirinya setiap kali berada di tempat ini.
Alya, seperti biasa, tersenyum cerah di sampingnya. Ia berbicara dengan lembut, berusaha mengalihkan perhatian Arthan dari tatapan sinis siswa-siswa lain. Namun, tatapan itu seperti jarum-jarum tajam yang terus menusuk hati Arthan.
“Arthan, tenang, aku ada di sini,” ucap Alya, mencoba menenangkannya.
Arthan mengangguk perlahan, meskipun tubuhnya masih gemetar. Ia tidak berani mengangkat wajahnya untuk menatap sekitar.
“Kenapa kamu tidak malu berteman denganku, Alya?” tanya Arthan tiba-tiba, suaranya lirih dan penuh keraguan.
Alya tersenyum lembut. “Kenapa aku harus malu? Aku senang berteman denganmu, Arthan. Kamu itu spesial.”
Sebelum Arthan sempat menjawab, suara berat dan kasar memecah suasana.
“Alya, apa yang kau lakukan?” tanya Riko, ketua klub olahraga yang terkenal di sekolah itu. Ia berdiri di depan mereka dengan tatapan tajam yang langsung membuat Arthan menunduk lebih dalam.
Alya tidak menjawab. Ia tetap duduk di tempatnya, mencoba mengabaikan keberadaan Riko.
“Jawab, Alya! Apa kau tidak malu duduk bersama... gumpalan daging ini?” ucap Riko sambil menunjuk Arthan dengan tatapan jijik.
Alya tetap tidak bereaksi, tetapi matanya mulai memanas. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Arthan dengan lembut. “Ayo kita pergi dari sini, Arthan,” katanya sambil tersenyum, seolah tidak ada yang salah.
Mereka berdua berdiri. Namun, Riko, yang tidak terima diabaikan, meraih kerah baju belakang Arthan dan menariknya dengan kasar hingga ia terjatuh ke lantai.
“Hey! Apa-apaan kamu!” seru Alya, terkejut.
Riko mendekatkan wajahnya ke arah Arthan yang kini terduduk dengan kepala tertunduk. “Kau itu tidak pantas bersama Alya. Kau menjijikkan! Hidupmu itu tidak berguna. Kau seharusnya hidup sendirian, dasar gendut!”
Kata-kata itu diiringi tawa dari para siswa yang menonton kejadian tersebut. Beberapa dari mereka bahkan mengambil ponsel untuk merekam. Arthan tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, membiarkan air matanya mengalir perlahan.
Alya segera membungkuk untuk membantu Arthan, tetapi tiga teman Riko—Arya, Bimo, dan Aji—menghalanginya.
“Alya, kembalilah ke kelasmu. Kami akan ‘mengurus’ dia,” ucap Riko dengan nada mengejek.
“Lepaskan aku! Kalian gila!” teriak Alya, mencoba melepaskan diri.
Namun, Arya dan Aji memegang tangannya dengan erat, sementara Bimo berdiri di belakang, terlihat ragu. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menunduk dengan ekspresi yang sulit dibaca.