Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #12

Kehilangan yang Sangat Berarti

Di dalam kamar rumah sakit yang hening, suara detak jantung mesin monitor perlahan-lahan memudar. Arthan duduk di samping ranjang neneknya, menggenggam tangan yang sudah mulai terasa dingin. Nenek Anindita tersenyum tipis, meskipun lemah. Tatapannya beralih kepada Alya yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Alya," ucap Nenek Anindita dengan suara serak, "Perkenalkan, nama nenek Anindita. Nenek adalah satu-satunya yang mendampingi Arthan sejak kecil. Kedua orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan mobil waktu dia masih kecil. Sejak saat itu, nenek yang merawat dan membesarkannya."

Alya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca melihat betapa rentan kondisi nenek Anindita. Ia melirik Arthan, yang menunduk dengan air mata yang tak terbendung.

"Nenek ingin mengatakan sesuatu," lanjut nenek itu, kali ini menatap Alya dengan penuh haru. "Kamu berhasil mengembalikan senyum Arthan. Bahkan nenek tidak mampu melakukannya. Kamu membuat dia merasa berarti lagi, Alya. Terima kasih."

Alya merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Ia menahan air matanya agar tidak tumpah, tetapi tak bisa menutupi rasa harunya. Nenek Anindita kemudian mengalihkan tatapannya kepada Arthan.

"Arthan," katanya lembut sambil mengelus wajah cucunya. "Kalau suatu saat nenek tidak bisa bertahan, kamu berjanji ya, jangan menyusul nenek dalam kematian dengan begitu cepat. Nenek ingin kamu menemukan cahayamu sendiri, cahaya yang akan menerangi hatimu dan hidupmu."

"Nenek..." Arthan mencoba memotong, tetapi suara tangisnya membuat kata-katanya patah-patah. "Jangan bicara seperti itu. Tolong, nenek istirahat saja."

Nenek Anindita tersenyum lagi, senyum yang perlahan memudar. "Nenek sayang kamu, Arthan. Nenek bangga padamu." Suaranya semakin lemah, dan tangan yang tadi mengelus pipi Arthan perlahan jatuh. Mata nenek itu tertutup perlahan.

"Nenek!" seru Arthan, suaranya pecah oleh kesedihan. Ia mengguncang tangan neneknya, berusaha memanggil kembali jiwa yang telah pergi. Air matanya mengalir deras, membasahi tangannya sendiri. Suasana di kamar itu mendadak penuh dengan rasa duka yang menyesakkan.

Alya terkejut. Dengan cepat, ia berlari keluar ruangan untuk memanggil dokter. Suaranya memecah keheningan lorong rumah sakit saat ia berteriak memanggil pertolongan. Seorang dokter yang berada di ujung lorong segera berlari menuju kamar nenek Anindita. Alya mengikuti dari belakang, tetapi sesampainya di depan kamar, ia berhenti sejenak.

Lihat selengkapnya