Di hari pemakaman nenek Arthan, suasana desa yang biasanya riuh dengan suara burung dan aktivitas warga mendadak sunyi. Langit kelabu menggantung di atas desa itu, seolah turut merasakan duka yang mendalam. Arthan berdiri tegak di sisi makam neneknya, ditemani Alya, keluarga Alya, dan para warga desa. Mata Arthan yang biasanya penuh keyakinan kini tampak kosong, mencerminkan rasa kehilangan yang tak terlukiskan.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Alya mendekati ayahnya untuk meminta izin. Namun, sebelum ia sempat berkata-kata, ayahnya sudah mendahuluinya. "Pergi dan temani anak itu, Alya," katanya dengan suara lembut. "Ayah dan ibu mengerti keadaannya. Temani dia ya. Ayah dan ibu pulang terlebih dahulu."
Alya menatap ayahnya dengan terkejut. "Kenapa ayah mengizinkan?" tanyanya, bingung.
Ayahnya tersenyum tipis sambil menepuk bahunya. "Nanti ayah beritahu alasan ayah di rumah. Kamu temani saja anak itu." Dengan kata-kata itu, ayahnya berlalu bersama ibunya, meninggalkan tempat pemakaman.
Arthan tampak masih berdiri di depan makam neneknya. Alya mendekat, menggenggam lengannya pelan. "Ayo, kita pulang," ajaknya dengan lembut. Arthan mengangguk tanpa kata, membiarkan Alya menuntunnya kembali ke rumah.
Di rumah neneknya yang kini terasa begitu sunyi, Arthan duduk di sofa ruang tamu. Tatapannya tertuju pada sebuah foto neneknya yang diletakkan di atas meja. Dalam foto itu, neneknya tersenyum hangat sambil menggendong Arthan kecil yang tertidur di pangkuannya. Alya duduk di sampingnya, menyandarkan kepalanya ke pundak Arthan, mencoba memberikan kenyamanan tanpa banyak kata.
"Dulu," Arthan mulai berbicara dengan suara serak, "nenek selalu membiarkan aku tidur di pangkuannya. Tempat tidur favoritku ada di sana, di pangkuannya. Rasanya damai sekali, Alya. Nenek selalu bertanya bagaimana hariku dengan senyumannya yang menenangkan. Tapi aku tahu, dia sering menangis tengah malam. Aku pernah melihatnya menangis diam-diam, sambil berkata, 'Kenapa cucuku harus dibenci oleh orang-orang?'"
Alya menatapnya, air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Namun, ia tetap mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak ingin memotong cerita Arthan.
"Orang-orang di desa ini," lanjut Arthan, suaranya semakin bergetar, "tidak pernah benar-benar menerima kami. Mereka menganggap nenek aneh karena sering menyendiri, dan aku... aku dianggap tidak pantas karena hidup tanpa orang tua. Tapi nenek selalu bilang, 'Kita tidak perlu membuktikan apa pun pada mereka. Yang penting, kita saling punya.'" Arthan tertawa kecil di tengah tangisnya, mengenang kata-kata neneknya.
Alya menggenggam tangan Arthan erat-erat, air matanya terus mengalir. "Nenekmu adalah wanita yang luar biasa, Arthan," katanya dengan suara penuh emosi. "Dia mencintaimu dengan seluruh hatinya."
Arthan mengangguk pelan. "Dia segalanya bagiku, Alya. Dia yang mengajarkanku untuk bertahan meski dunia terasa begitu kejam. Saat aku merasa dunia ini terlalu berat, dia yang memelukku dan berkata bahwa aku lebih kuat dari yang aku kira."
Arthan kemudian mulai menceritakan momen-momen kecil bersama neneknya, yang bagi orang lain mungkin tak berarti banyak, tetapi baginya adalah harta yang tak ternilai. Ia mengisahkan bagaimana neneknya selalu membangunkannya setiap pagi dengan aroma teh hangat yang ia seduh dengan cinta. "Teh itu," kata Arthan, "bukan sekadar teh. Itu adalah pengingat bahwa aku punya seseorang yang peduli, yang melihatku saat dunia tak peduli."
Alya menanggapi dengan senyum tipis, meski air matanya terus mengalir. "Aku bisa membayangkan betapa hangatnya itu."
Arthan melanjutkan, "Setiap sore, nenek mengajakku ke ladang kecil di belakang rumah. Dia mengajariku menanam bunga. Bukan karena kami butuh bunga, tapi dia bilang, 'Bunga itu seperti manusia, Arthan. Kalau dirawat dengan cinta, dia akan tumbuh cantik meskipun tanahnya keras.'" Ia terdiam sejenak, memandangi foto neneknya. "Sekarang aku paham apa yang dia maksud."