Keesokan harinya, Alya kembali ke rumahnya. Langkahnya terasa ringan, tetapi ada sedikit kekhawatiran yang menggelayuti hatinya. Ketika ia membuka pintu, ia mendapati ayah dan ibunya sudah menunggunya di ruang tamu. Wajah mereka memancarkan senyuman hangat yang jarang ia lihat.
“Alya, sudah pulang?” sapanya ayahnya sambil bangkit dari sofa. Ibu Alya segera memeluk putrinya dengan penuh kasih.
“Bagaimana keadaanmu, Nak? Kami sangat merindukanmu,” kata ibunya lembut.
Alya tersenyum kecil, merasa hangat oleh perhatian mereka. Namun, ia tak bisa menahan rasa heran. Biasanya, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dulu, jarang sekali mereka meluangkan waktu untuknya.
Setelah Alya duduk bersama mereka, suasana menjadi hening sesaat. Akhirnya, ia bertanya, “Ayah, Ibu, kenapa kalian mengizinkanku menemani Arthan kemarin? Padahal kalian bahkan tidak tahu siapa dia.”
Ayah Alya menarik napas panjang sebelum menjawab. “Alya, kami melihat sesuatu dalam diri Arthan yang mengingatkan kami pada dirimu dulu. Ketika kami melihat anak itu, kami merasa seperti melihat dirimu yang berjuang sendirian, terjebak dalam pikiran yang menyakitkan.”
Alya tertegun mendengar jawaban itu. Kenangan lama kembali membanjiri pikirannya. Ketika ia berusia 15 tahun, ia merasa begitu kesepian. Ayah dan ibunya sibuk bekerja, meninggalkannya sendirian di rumah yang besar tetapi hampa. Ia sering menghabiskan waktu di kamar, bermain sendirian, menangis di tengah malam karena rindu akan pelukan dan perhatian mereka. Pada usia 16 tahun, hidupnya benar-benar berantakan. Ia jarang makan, tidur tidak teratur, dan merasa kehilangan arah.
Kondisi Alya saat itu begitu mengkhawatirkan hingga orang tuanya memanggil seorang psikolog ke rumah. Psikolog tersebut tinggal selama empat bulan, mengamati dan membantu Alya dengan pendekatan yang lembut. Pada akhirnya, psikolog itu menyimpulkan bahwa Alya tidak membutuhkan obat-obatan. Yang ia butuhkan adalah kehadiran dan cinta dari kedua orang tuanya.
“Alya membutuhkan pelukan dan bimbingan dari kalian,” kata psikolog itu. “Tanpa itu, ia tidak akan pernah pulih.”
Hari itu, ayah dan ibunya tersadar akan kesalahan mereka. Sejak saat itu, mereka berusaha keras untuk memperbaiki hubungan dengan putri mereka. Mereka mulai meluangkan waktu bersama, mendengarkan cerita Alya, dan menunjukkan cinta mereka secara nyata. Perlahan, Alya kembali ceria dan mulai meraih prestasi seperti sebelumnya.
Kembali ke saat ini, ayah Alya melanjutkan, “Arthan adalah anak dari sahabat ayah yang meninggal dalam kecelakaan. Sahabat ayah itu, Pak Rama, adalah orang yang membantu ayah hingga bisa sukses seperti sekarang. Ayah tidak bisa membiarkan anaknya tenggelam dalam kesedihan dan tekanan seperti dirimu dulu. Ayah dan ibu sudah berbicara, dan kami sepakat untuk mengundang Arthan tinggal bersama kita. Kami ingin membantunya.”
Alya merasa hatinya bergetar mendengar penjelasan itu. Ia melihat ketulusan dalam mata ayahnya. “Jadi, aku yang harus memberitahunya dan membawanya ke sini?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.