Ayah Alya berdiri di ruang tamu, memandang Arthan dengan senyum yang mengandung kehangatan sekaligus kesedihan. Ia mengangguk pelan sambil berkata, "Anak itu sama seperti ayahnya. Ia tidak ingin menyusahkan siapapun dalam hidupnya. Abram, lihat anakmu. Anakmu mewarisi sifat yang sangat besar dan bijaksana sepertimu. Aku melihat engkau di dalam diri anakmu, Abram."
Arthan hanya menunduk, hatinya penuh rasa haru mendengar kata-kata itu. Dia mengucapkan terima kasih kepada ayah Alya, namun tetap teguh dengan keputusannya untuk pergi. Tidak lama kemudian, ia berpamitan kepada keluarga Alya dan berjalan meninggalkan rumah dengan langkah berat, membawa koper kecil dan hati yang penuh keraguan.
Di depan bandara, angin pagi menyambut wajah Arthan. Ia memandang tiket pesawat di tangannya, tujuannya jelas: Bandung. Sebuah kota yang ia harapkan dapat memberikan ketenangan dan awal baru. Namun di dalam hatinya, ada perasaan ragu yang tak kunjung hilang. Ketika waktu boarding tiba, ia melangkah masuk ke dalam pesawat dengan perasaan campur aduk.
Sementara itu, di kamar Alya, gadis itu duduk di depan meja belajarnya. Cahaya lampu kamar yang redup memantulkan bayangannya di jendela. Dengan pena di tangan, ia menulis surat dengan hati yang penuh perasaan. Air matanya menetes, jatuh ke atas kertas, meninggalkan noda kecil yang samar. Surat itu berisi:
"Seperti kata ayah bahwa seorang laki-laki harus berjuang memperbaiki hidupnya walau itu bukan kesalahannya. Laki-laki itu kuat, harus kuat menerima hancurnya harapan, harus kuat menerima kehampaan dan kebencian orang-orang. Laki-laki itu berubah hidupnya karena dua hal, pertama karena kesalahan dan yang kedua karena kehidupannya. Tapi aku tahu Arthan akan menemukan cahayanya. Arthan adalah ruangan tanpa ada cahaya. Kehampaan dan gelapnya hatinya membuatnya harus mencari cahaya itu. Bagiku, Arthan adalah sebuah perjalanan yang panjang, yang mungkin bertemu atau tidak denganku nantinya.
Arthan... aku berharap aku adalah cahayamu. Aku bersedia menerangimu dikala kamu bersedih dan bahagia. Aku ingin melihat lukisan terindah di wajahmu, yaitu senyummu. Aku harap kamu kembali padaku, dan aku ingin memelukmu. Aku tahu bahwa ada pertemuan pasti ada perpisahan. Tapi jujur, aku tidak ingin berpisah denganmu, Arthan. Kamu adalah ruangan dan tempat diri ini menunjukkan siapa aku dan menerima diriku. Aku berharap kita bertemu lagi, Arthan. Aku mencintaimu, ruang kalbuku."