Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #18

Sebuah Foto Keluarga

Pagi itu, matahari Bandung bersinar cerah. Cahaya keemasan yang hangat menyusup melalui tirai kamar Arthan, membangunkannya dari tidur yang tidak begitu nyenyak. Kenangan mimpi semalam, tentang pertemuannya kembali dengan gadis tanpa wajah, masih terasa segar di benaknya. Ada perasaan kosong yang mendalam, seolah-olah mimpi itu menyimpan makna yang belum ia pahami sepenuhnya.

Dengan enggan, Arthan bangkit dari tempat tidur. Setelah membersihkan diri, ia menyiapkan sarapan sederhana—sepotong roti panggang dan segelas susu hangat. Saat makan, pikirannya melayang, mengingat momen-momen indah bersama neneknya. Keinginan untuk kembali ke perpustakaan muncul lagi, tempat yang kini menjadi pelariannya untuk mencari jawaban tentang dirinya sendiri dan dunia mimpi yang terus mengganggunya.

Setelah makan, ia kembali ke kamar untuk mengambil jaket hitam favoritnya. Saat meraih jaket, pandangannya tertuju pada sebuah kardus yang telah lama ia simpan di sudut kamar. Itu adalah kotak kenangan dari neneknya, yang selama ini ia hindari untuk dibuka karena takut terbawa arus emosi. Tapi pagi itu, ada dorongan kuat yang mendorongnya untuk menghadapi kenangan tersebut.

Arthan duduk di lantai, dengan hati-hati membuka kardus tersebut. Di dalamnya terdapat barang-barang lama milik neneknya: kain selendang favorit, sebuah buku harian yang sudah usang, dan foto-foto lama yang menggambarkan neneknya di masa muda.

Senyuman neneknya di foto-foto itu begitu hangat, mengingatkan Arthan pada kasih sayang yang pernah ia rasakan. Namun, di antara barang-barang itu, sebuah kotak kecil menarik perhatiannya. Kotak itu tampak seperti peti harta karun mini, dihiasi ukiran rumit di permukaannya. Arthan mencoba membukanya, tetapi kotak itu terkunci.

“Kenapa aku tidak pernah menyadari ada kotak seperti ini sebelumnya?” gumamnya, mencoba mengingat apakah neneknya pernah menyebutkan sesuatu tentang itu.

Ia mencari-cari kunci di dalam kardus, memeriksa setiap sudut dan celah, tetapi tidak menemukannya. Rasa frustrasi mulai muncul, tetapi saat ia meletakkan kotak itu kembali, pandangannya tertuju pada sesuatu yang kecil di bawah kotak tersebut—sebuah kunci mungil yang tampaknya cocok untuk membuka kotak itu.

Dengan penuh antusias, Arthan mengambil kunci tersebut dan memasukkannya ke dalam lubang kunci. Klik! Kotak itu terbuka perlahan, dan di dalamnya terdapat beberapa barang kecil: sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang, selembar kertas bertuliskan catatan tangan, dan sebuah foto keluarga.

Arthan mengambil foto itu terlebih dahulu. Gambarnya menampilkan ayah, ibu, nenek, dan dirinya saat masih bayi. Di foto itu, ibunya menggendongnya dengan senyuman lembut, sementara ayahnya berdiri di samping dengan postur gagah. Neneknya berada di belakang mereka, tersenyum penuh kebanggaan.

Air mata menggenang di mata Arthan. Rasa rindu yang lama ia pendam kini menyeruak, membanjiri hatinya. Kenangan akan keluarganya yang harmonis, yang kini hanya bisa ia temui melalui foto-foto seperti ini, membuat hatinya terasa berat.

“Ibu… Ayah…” bisiknya sambil menyentuh foto itu dengan hati-hati. “Kalian begitu sempurna…”

Lihat selengkapnya