Saat Arthan membuka pintu rumah itu, udara dingin dari dalam menyambutnya. Bau kayu tua bercampur debu memenuhi indra penciumannya, tetapi yang paling mencolok adalah pemandangan yang langsung tertangkap matanya. Di dinding ruang tamu, tergantung sebuah foto keluarga besar dalam bingkai kayu yang megah. Foto itu menampilkan dirinya saat masih bayi, digendong oleh ibunya, sementara ayahnya berdiri di samping dengan senyum bangga.
Hati Arthan langsung bergetar hebat. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah-olah beban emosi yang selama ini ia tahan mulai runtuh. Tangannya gemetar saat ia mendekati foto tersebut. Kepala Arthan berputar, dan air matanya mulai membasahi pipinya. Dia tidak bisa lagi menahan rasa sedih dan kehilangan yang mengalir deras dalam dadanya.
Namun, sesuatu yang lain di samping foto itu menarik perhatiannya. Sebuah foto kecil menampilkan seorang wanita yang tak asing—wanita yang membukakan pintu untuknya tadi. Di foto itu, wanita tersebut berdiri bersama ayah dan ibunya, sementara perut ibunya tampak membesar, jelas menunjukkan bahwa foto itu diambil saat ibunya mengandung dirinya.
Wanita itu, yang berdiri di belakangnya, akhirnya angkat bicara dengan suara halus. “Nak Arthan, perkenalkan, aku Mbok Arsi,” katanya. “Mbok sudah lama menunggu hari ini. Mbok ditugaskan untuk menjaga rumah ini, menanti saat kamu akhirnya menemukannya.”
Arthan menoleh, terkejut. “Apa maksud Mbok?” tanyanya dengan bingung.
Mbok Arsi memberikan senyuman tipis, lalu melangkah ke ruang tamu yang lebih dalam. “Duduklah, Nak. Mbok akan menceritakan semuanya.”
Arthan mengikuti Mbok Arsi dan duduk di sofa tua yang empuk meski usang. Mbok Arsi, dengan hati-hati, mulai bercerita, menyingkap kebenaran yang selama ini tersembunyi dari Arthan.
“Nak, Mbok dulu bekerja untuk keluargamu. Mbok membantu mengurus rumah ini, sekaligus membantu merawat ibumu selama mengandung kamu. Waktu itu, hidup keluarga kalian begitu bahagia. Ayah dan ibumu adalah orang yang baik, dan mereka sangat mencintaimu,” Mbok Arsi memulai dengan nada lembut, tetapi suaranya mengandung kesedihan yang mendalam.
Arthan mendengarkan dengan penuh perhatian, meski dadanya terasa sesak.
“Saat kamu lahir, rumah ini belum selesai direnovasi. Karena itu, ibumu memutuskan untuk tinggal bersama nenekmu di desa sementara ayah dan ibumu menyelesaikan pekerjaan mereka di Bandung. Setelah setahun, rumah ini akhirnya siap. Mereka memutuskan untuk menjemput kamu dan nenekmu untuk pindah ke sini, dan hidup sebagai keluarga besar yang bahagia.”