Hari-hari Arthan kini dipenuhi dengan tawa dan canda bersama teman-teman barunya. Mereka sering berkumpul di kafe kecil di sudut kota, nongkrong di taman, atau bahkan menghabiskan waktu hanya berbicara tentang hal-hal sepele. Dunia Arthan terasa lebih berwarna dibandingkan beberapa tahun lalu, ketika ia masih tenggelam dalam kesendiriannya.
Namun, di balik semua itu, ada bagian dari dirinya yang mulai terlupakan.
Setiap pagi, surat dari Alya masih setia menghampiri kotak surat di rumahnya. Surat-surat itu datang tanpa jeda, seolah-olah Alya tidak pernah lelah menulis dan mengirimkannya. Namun, bagi Arthan, surat-surat itu hanya menjadi bagian dari rutinitas yang tidak pernah ia pedulikan.
Ia akan mengambil surat itu dari kotak surat, menatap amplopnya sejenak, lalu menumpuknya di dalam kotak kardus yang kini hampir penuh. Surat-surat itu tetap tersegel, tidak pernah dibuka, apalagi dibaca.
Arthan sekarang memiliki kehidupan yang lebih sibuk. Teman-temannya selalu ada untuk mengisi waktunya, dan setiap hari selalu ada kegiatan baru yang mereka rencanakan. Mereka tertawa, bercanda, bahkan kadang saling mengejek dengan cara yang menyenangkan. Kehangatan itu membuat Arthan merasa diterima, sesuatu yang dulu sulit ia dapatkan.
Namun, setiap malam, saat ia kembali ke kamar yang sunyi, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Di tengah gelapnya malam, rasa kosong itu selalu muncul, meskipun ia tidak tahu apa penyebabnya. Ia mencoba mengabaikannya, membiarkan dirinya larut dalam kelelahan hingga tertidur.
Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia memimpikan wanita tanpa wajah itu. Dulu, mimpi itu begitu sering datang, menghantui malam-malamnya. Namun kini, mimpi itu seolah menghilang tanpa jejak. Bukannya merasa lega atau penasaran, Arthan justru melupakannya begitu saja.
Arthan tidak pernah bertanya pada dirinya sendiri mengapa mimpi itu berhenti, atau apa arti dari mimpi tersebut. Ia terlalu sibuk menikmati kehidupannya yang sekarang. Bahkan buku Faceless Human, yang dulu ia beli dengan semangat besar, kini hanya tergeletak di sudut meja belajarnya, tertutup debu tebal.
Suatu sore, setelah selesai nongkrong dengan teman-temannya, Arthan pulang ke rumah. Di perjalanan, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, tapi ia tidak bisa menjelaskan apa itu. Ketika ia membuka pintu rumah, ia langsung melihat tumpukan surat di kotak kardus di sudut ruangan.
Ia berjalan mendekat, matanya tertuju pada surat-surat itu. Sekilas, ia merasa ada rasa bersalah yang muncul di hatinya, tapi ia segera mengusir pikiran itu.
“Alya pasti sudah melupakanku,” gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar ragu.