Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #24

Firasat

Hari itu seperti biasa, Arthan berjalan menuju kotak surat yang ada di halaman depan rumahnya. Kotak surat itu sudah menjadi saksi betapa seringnya ia mengabaikan surat-surat dari Alya. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Saat ia membuka kotak itu dan melihat satu amplop dengan tulisan tangan yang sudah sangat ia kenali, ada dorongan kuat di hatinya untuk membuka surat itu.

Dengan perlahan, ia merobek amplop tersebut. Surat itu dimulai dengan tulisan yang membuat jantungnya terasa seperti diremas.

"Arthan, semoga kamu bahagia di sana... mungkin kamu telah menemukan kebahagiaan di tempatmu sekarang, dan aku akan senang jika itu benar. Arthan, aku merindukanmu. Sahabatmu, Alya."

Saat ia membaca surat itu, dadanya terasa sesak. Tubuhnya bergetar, dan tanpa sadar air mata mulai mengalir di pipinya. Ia meremas surat itu dengan lembut, mendekatkannya ke dadanya seolah mencoba mengurangi rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak.

Di luar, cuaca yang sebelumnya cerah tiba-tiba berubah mendung. Angin dingin bertiup, seolah alam turut bersedih. Arthan merasakan firasat buruk yang kuat. Perasaan itu begitu nyata, seolah memberi tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Alya.

Firasat itu membuat pikirannya kalut. Ia langsung bergegas masuk ke dalam rumah, membuka lemari, dan mengambil pakaian serta barang-barang yang sekiranya ia perlukan. Dengan cepat ia mengemas semuanya ke dalam tas besar. Tidak ada yang bisa menghentikannya saat itu.

Ketika ia bersiap untuk keluar rumah, terdengar suara langkah kaki di depan pintu. Sebelum ia sempat membukanya, pintu itu sudah lebih dahulu terbuka. Laras berdiri di sana, memandangnya dengan raut wajah penuh kebingungan.

“Kamu mau ke mana?” tanya Laras, matanya meneliti tas besar yang tergantung di bahu Arthan.

Arthan terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata di tengah kepanikan dan firasat buruk yang terus menghantuinya. “Aku harus pergi ke desaku,” jawabnya dengan nada yang bergetar. “Maaf, ini sangat penting.”

Laras mengerutkan alis. “Tentang Alya?” tanyanya, tegas namun bergetar.

Arthan langsung terdiam, terkejut bagaimana Laras tahu tentang Alya. Lidahnya kelu, dan ia tidak bisa menjawab apa pun.

“Aku sudah tahu,” lanjut Laras, air matanya mulai menggenang. “Aku melihat sebagian surat dari Alya. Surat-surat itu… aku membacanya. Aku tahu dia penting bagimu.”

Arthan hanya bisa menatap Laras dengan perasaan bersalah.

“Kenapa? Kamu bertanya kenapa aku tahu tentang wanita itu? Dan sekarang, kamu ingin menemuinya? Apakah aku tidak penting bagimu, Arthan? Selama ini aku kamu anggap apa?” suara Laras mulai meninggi, dan air matanya jatuh dengan deras.

Lihat selengkapnya