Faceless Girl

Baggas Prakhaza
Chapter #25

Lorong Kenangan

Langit malam menggantung kelam di atas desa yang terasa semakin asing bagi Arthan. Langkah kakinya tergesa-gesa, berlari melewati jalanan berbatu yang dulu begitu akrab baginya. Bayang-bayang pepohonan berayun pelan diterpa angin, menciptakan suara gemerisik yang seolah membisikkan sesuatu.

Namun, Arthan tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya satu, Alya. Dadanya sesak oleh firasat buruk yang semakin menguat. Ketika akhirnya ia sampai di rumah Alya, kakinya gemetar hebat. Tangannya, yang basah oleh keringat, berusaha menggenggam kenop pintu yang terasa dingin di telapak tangannya.

Perlahan, ia mendorong pintu itu terbuka, sunyi. Rumah itu kosong, tanpa tanda-tanda kehidupan. Tidak ada cahaya, tidak ada suara, hanya kehampaan yang menyelimuti ruangan.

"Alya?" panggilnya lirih, namun hanya gema suaranya sendiri yang kembali kepadanya.

Jantungnya berdetak kencang. Dengan langkah ragu, ia melangkah lebih dalam, menatap sekeliling dengan tatapan nanar. Perabotan di rumah itu masih tersusun rapi, seakan pemiliknya baru saja pergi sebentar. Tapi entah mengapa, rumah itu terasa mati.

Tidak ada Alya. Tidak ada siapa pun. Arthan mundur, keluar dari rumah itu. Pandangannya beralih ke jalanan desa. Seharusnya ada seseorang di luar sana, setidaknya satu atau dua warga yang masih berkeliaran. Tapi yang ia lihat hanyalah jalan kosong, rumah-rumah yang gelap, dan udara yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Seakan-akan seluruh desa telah ditinggalkan. Ketakutan mulai merayapi tubuhnya. Ini bukan desa yang ia kenal. Ini bukan tempat yang dulu pernah ia tinggali.

Dengan perasaan kalut, ia berlari menuju danau—tempat kenangan mereka berdua. Jika ada satu tempat di mana Alya mungkin berada, itu adalah di sana.

Sesampainya di tepi danau, Arthan berharap menemukan Alya atau siapa pun di sana. Namun, yang ia dapati hanyalah air danau yang tenang, berkilauan di bawah sinar rembulan. Tidak ada siapa pun.

Napasnya memburu, dadanya naik turun karena kelelahan. Ia merasa semakin tersesat. Ia berjalan mendekati pohon besar di dekat danau, lalu duduk bersandar di bawahnya. Kepalanya menengadah, menatap langit yang dipenuhi bintang.

Perasaan bersalah kembali menghantamnya seperti ombak besar. Ia menyesali keputusannya untuk mengabaikan surat-surat Alya.

Lihat selengkapnya