Arthan menatap wanita tanpa wajah itu dengan mata yang masih dipenuhi air mata. Kehadirannya terasa begitu nyata, namun di saat yang sama, begitu asing. Tangannya yang dingin meraih tangan Arthan, dan seketika, dunia di sekeliling mereka berubah.
"Apa yang kamu cari ada di sini, termasuk dirimu yang telah kamu lupakan," ucap wanita tanpa wajah itu dengan suara lembut namun penuh misteri.
Arthan tertegun. Pandangannya berkelana ke sekeliling. Kini, mereka berdiri di suatu tempat yang tampak seperti perpaduan antara kenyataan dan ilusi. Langit di atas mereka dipenuhi cahaya berwarna-warni, seperti aurora yang terus bergerak, membentuk pola-pola yang aneh namun menenangkan.
Di tengah ruang hampa itu, ada sesuatu yang menarik perhatian Arthan.
Di depannya, sebuah gelembung raksasa melayang. Di dalamnya, tertidur seorang gadis yang sangat ia kenal—Alya.
Air mata Arthan jatuh tanpa ia sadari. "Ba-bagaimana bisa aku melupakan ini semua?" gumamnya, suaranya bergetar.
Wanita tanpa wajah itu berdiri di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi yang jelas. "Dan gadis yang bernama Alya sudah terjebak dalam gelembung mimpi sekarang," lanjutnya.
Arthan berlari ke arah gelembung itu, tangannya menekan permukaannya yang elastis, mencoba membangunkan Alya. "Alya! Bangun! Ini aku, Arthan!" serunya. Namun, Alya tetap diam, tertidur dalam keheningan.
Putus asa, Arthan menoleh ke wanita tanpa wajah itu, tatapannya memohon.
"Hanya kamu yang bisa melakukan ini semua, Arthan," ucapnya. "Senyumlah, dan dorong gelembung itu hingga masuk ke gerbang mimpi yang ada di sana."
Arthan mengikuti arah pandangannya. Tak jauh dari sana, sebuah gerbang besar berkilauan berdiri di tengah kehampaan. Cahaya lembut mengalir darinya, seakan memanggil Alya untuk kembali.
Tanpa berpikir panjang, Arthan mulai mendorong gelembung itu. Namun, gelembung itu terasa begitu berat, seolah menolak untuk bergerak. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, tapi tetap saja, gelembung itu hanya bergeser sedikit.
Di saat yang sama, wanita tanpa wajah itu berbicara lagi, suaranya lebih rendah, namun mengandung emosi yang sulit dijelaskan.
"Kenapa kamu ingin sekali menolong gadis ini? Bukankah aku yang selalu menemanimu dalam kesedihanmu di dalam mimpi?" tanyanya, kini dengan nada yang nyaris terdengar kesal.
Arthan tetap diam, terus mendorong gelembung itu. Namun, tiba-tiba, gambaran-gambaran mulai bermunculan di atas mereka, melayang seperti layar yang menayangkan film masa lalu.
Itu adalah kenangan Arthan bersama Alya.
Kenangan mereka sejak masa sekolah—saat pertama kali bertemu, saat berbagi tawa, saat menangis bersama. Semua terukir di langit, bergerak seperti potongan-potongan memori yang hidup kembali.
Wanita tanpa wajah itu menatapnya dengan sorot mata yang berubah—campuran antara kesedihan dan kemarahan.
"Apa kau sudah melupakanku, Arthan?" serunya dengan keras.