Arthan terbangun dengan napas tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat, jantungnya masih berdebar kencang akibat mimpi yang begitu nyata. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap masuk melalui celah jendela kamarnya.
"Ternyata… hanyalah mimpi…" gumamnya, suaranya terdengar parau.
Namun, meski tubuhnya telah kembali ke dunia nyata, hatinya masih terjebak dalam perasaan kehilangan yang begitu dalam. Bayangan Alya, suara lembutnya, tatapan hangatnya—semuanya masih terasa begitu jelas dalam pikirannya.
Dimana kamu, Alya?
Arthan duduk di tepi danau, kedua tangannya mengepal di atas lututnya. Ia menunduk, merasakan kesedihan yang membebani dadanya.
"Aku merindukanmu," bisiknya, nyaris tanpa suara.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. Lalu, dengan langkah perlahan, ia bangkit berdiri. Udara pagi yang sejuk menyapanya begitu ia melangkah keluar dari rumah. Langit biru membentang luas, angin bertiup lembut, membawa aroma embun yang masih tersisa di dedaunan.
Tanpa sadar, kakinya membawanya menyusuri jalanan yang telah begitu akrab baginya—jalan yang selalu ia lalui bersama Alya di masa lalu. Setiap sudut kota ini menyimpan kenangan mereka.
Saat ia sampai di persimpangan jalan yang biasa mereka lewati bersama, langkahnya terhenti.
Di sana, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang yang tertiup angin, tubuhnya membelakangi Arthan. Ia sedang menatap langit, seolah menikmati keindahan awan yang bergerak perlahan.
Arthan membeku di tempatnya.
Jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat.
Itu…
Tidak mungkin…
Tubuhnya gemetar, matanya tak berkedip, menatap sosok itu dengan ketidakpercayaan.