Dentingan sendok dan piring bergema di dalam ruang makan keluarga Blanchet. Seorang wanita paruh baya muncul dengan membawa casserole berisi ayam, kacang hijau, dan jagung. Ada semangkuk besar sup jamur di tengah meja makan, ditemani oleh roti gandum panggang. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan, bangkit berdiri dan membantu wanita itu menata casserole di atas meja. Satu-satunya anak perempuan di ruangan itu mengulurkan tangannya untuk mengambil sepotong roti, lalu mencelupkannya ke dalam mangkuk supnya.
Mrs. Blanchet duduk di sebelah suaminya. Ia merapikan serbet di atas pangkuannya. “Mari kita makan,” intruksinya dengan lembut. Matanya beralih ke seberang meja. “Fachri, bisa tolong kau ambilkan teko di dapur? Kurasa airnya sudah mendidih.”
Fachri menyisir rambut cokelatnya ke belakang dengan tangan sebelum berdiri dan berjalan santai menuju dapur. Ia mengambil kain dan mematikan kompor, lalu mengangkat teko. Dalam perjalanannya kembali ke ruang makan, ia meraih sepotong kue blueberry sisa minum teh sore tadi. Sambil mengunyah kue, ia meletakkan teko itu di atas meja. Mrs. Blanchet sedang menyendok casserole ke setiap piring.
Mereka semua makan dengan harmonis. Selalu ada obrolan ringan di sela-sela aktivitas mengunyah dan menyendok makanan. Mr. Blanchet adalah seorang pria bertubuh normal dengan tinggi sedang. Ia mengelola sebuah peternakan, dan mendistribusikan produk hasil ternaknya ke pasar Deanville dan juga ke luar kota. Ia dan istrinya memiliki empat orang anak.
“Ayah, kurasa istal-istal di belakang lumbung harus diperbaiki,” ujar anak lelaki tertuanya, Rafeé. “Beberapa skrup sudah agak kendur dan ada papan kayu yang sepertinya harus diganti. Aku bisa pergi ke kota untuk membeli barang-barangnya.”
Rafeé, atau yang lebih sering disapa Rafe, bekerja di rumah lumbung keluarga mereka dan mengurus segala kebutuhan hewan-hewan ternak. Ia selalu memastikan pengelolaan lumbung berjalan dengan baik.
“Oh, yeah, Mrs. Hanniman dari desa sebelah juga bertemu denganku di pasar hari ini.” Fachri menimpali. Ia menggigit rotinya. “Dia ingin memesan dua lusin susu untuk minggu depan. Mrs. Hanniman punya semacam rumah yayasan di desanya.”
Mr. Blanchet menarik tangannya yang sedang memegang sendok ke bawah dagu. Ia mengetuk-ngetuk gagang sendok dengan jari telunjuknya. “Baiklah. Rafe, kau besok bisa pergi ke kota untuk membeli beberapa material dan juga botol susu untuk Mrs. Hanniman. Aku akan memberimu uang.”
Rue, anak paling bungsu dan satu-satunya perempuan, berpaling kepada kakak pertamanya. “Kalau kau pergi ke kota, bisakah aku menitip untuk dibelikan dress? Ada jenis dress baru yang kuinginkan, yang lengannya berbentuk seperti jubah.”
“Ruphelia, pagi kemarin aku baru saja memberitahumu jika kau sudah memiliki terlalu banyak pakaian,” tegur ibunya.
Rue sehari-hari tinggal di rumah bersama Mrs. Blanchet. Ia biasanya membawakan cemilan dan makan siang untuk Rafe dan Jean, seorang pemuda yang dipekerjakan Mr. Blanchet untuk membantu di peternakan. Dan dari waktu ke waktu, Rue juga pergi ke luar untuk mengantar kue ke rumah-rumah tetangga.
Anak gadis itu hanya mengangkat bahu. “Selalu ada ruang untuk lebih banyak pakaian.”
“Ah, Pierre.” Mr. Blanchet memanggil anak laki-laki keduanya yang duduk di ujung meja. “Besok pagi kau pergi ke ibukota untuk mengirim mentega dan keju. Aku akan memberikan alamatnya kepadamu. Jean sudah mengemasi barang-barang dan mempersiapkan kereta untuk perjalananmu besok.”
Pierre yang dari tadi lebih banyak diam dan hanya menyantap casserolenya, menyunggingkan sudut bibirnya dengan ekspresi cerah. Ia mengangguk. “Dengan senang hati.”
Pierre sering bolak-balik ke luar kota. Ia yang bertugas mengurus distribusi produk olahan susu keluarga Blanchet ke kota-kota lain. Pemuda itu bisa pergi selama dua sampai tiga hari, jika wilayahnya lebih jauh ia bisa kembali seminggu kemudian. Maka dari itu, Pierre jarang berada di rumah.
Fachri memandangi kakak keduanya cukup lama. Ia menipiskan bibir, lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke piringnya.
***