Fachri duduk di kursi pengemudi, kedua tangannya memegang erat tali kekang kuda. Roda kereta melaju di tanah yang kasar. Pierre duduk di sebelahnya. Satu ransel berada di atas pangkuan pemuda itu. Matanya terpaku ke satu arah, memandangi suasana pagi di desanya dan burung-burung yang bersiul melintasi awan. Bunga-bunga kuning dan ungu terhampar di kedua sisi jalan. Fachri melirik kakaknya. Pierre selalu memiliki ekspresi seperti termenung di wajahnya. Terkadang kedua sudut bibirnya terangkat sedikit, samar sekali.
Mereka berdua tidak banyak berbicara selama perjalanan. Fachri dengan tenang tetap melajukan Brim dan satu kuda yang lain di jalan yang akan menuju padang rumput luas, di mana batas wilayah Deanville akan berakhir dengan ditandai oleh pagar-pagar kayu putih. Sinar matahari mulai meninggi di langit timur, memberikan penyinaran yang lebih terang pada pemandangan di hadapannya. Ketika deretan pagar putih itu sudah terlihat, Fachri berharap ia akan terus melajukan kereta ini untuk melewatinya.
Kereta kuda mereka berhenti di samping pagar, di tepi jalan utama. Beberapa kereta yang lain datang dari jalur terbuka dan masuk ke wilayah Deanville. Seorang pria tua yang sering terlihat di dekat perbatasan ini bertukar sapa dengan para pendatang. Fachri melompat turun dari kereta. Pierre menaruh ransel di sebelahnya dan mengambi alih kemudi kereta.
Fachri memasukkan kedua tangan ke saku celananya. “Kau yakin tidak ingin aku ikut denganmu?”
Pierre menaikkan sebelah alisnya. “Apakah itu benar-benar sebuah pertanyaan untukku?”
Fachri hanya tersenyum masam.
Kakaknya tertawa.
Pemuda itu berputar. Sejauh mata memandang, Fachri bisa melihat hamparan tanah yang sangat luas dan rerumputan. Jalur terbuka menghilang ketika datarannya menurun ke bawah, meninggalkan desa mereka yang berada di wilayah yang lebih tinggi. Fachri tidak bisa melihat lebih jauh dari itu.
“Aku harus pergi sekarang. Tidak ingin terlambat,” kata Pierre dari atas kereta. Ia mengencangkan pegangannya pada tali kekang kuda.
Fachri kembali pada kakaknya. “Berapa lama kau akan pergi?”
“Kemungkinan aku akan kembali besok. Atau dua hari kemudian.” Pierre mengangkat bahu. “Tergantung seberapa jauh dan sulit perjalanannya.”
“Yeah. Aku yakin kau akan lebih senang jika perjalanannya tidak lebih mudah.”
Pierre tertawa lagi mendengar nada sindir dari kalimat Fachri. Ia membungkukkan tubuhnya ke bawah dan mengetuk pelan kepala adiknya yang tertutupi topi baret. “Jangan mengeluh terus. Nanti akan ada masanya kau bisa pergi ke luar kota juga.” Ia tersenyum. “Jaga rumah baik-baik, oke?”
Fachri mengamati kereta kuda Pierre bergerak maju, roda kayu bergesekan dengan tanah keras dan beberapa rumput liar yang tumbuh di jalur terbuka. Pierre sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia benar-benar sudah terbiasa melakukan ini. Dan Fachri tahu, kakaknya menyenangi setiap detiknya.
Satu jam kemudian, Fachri masih berada di pagar perbatasan. Dia duduk di atas pagar putih, agak jauh dari jalur kereta, memandangi perbukitan di kejauhan. Ia pernah beberapa kali mengunjungi wilayah lain. Dua desa yang terletak di barat dan di utara Deanville. Fachri pergi ke sana untuk mengantar keju dan mentega. Desa sebelah, yang berada di barat dan paling dekat dengan Deanville, adalah wilayah favorit Fachri. Ia sering pergi ke desa itu selama satu tahun, bolak-balik setiap minggu untuk mengirimkan pesanan. Pemuda itu selalu menyukai tempat-tempat baru. Ia menggunakan masa-masanya sebagai pengantar keju dan mentega antar desa untuk menjelajah sejauh mungkin.
Di waktu lain, Fachri hanya pernah satu kali mengunjungi sebuah kota yang berada di bagian timur negara ini. Bukan kota besar, tetapi cukup untuk dibilang sebagai sebuah kota. Ayahnya mengajak mereka semua untuk menyaksikan pertunjukan teater terkenal. Usia Fachri baru sepuluh tahun, namun saat itu juga ia tahu bahwa dirinya terkesima dengan kehidupan perkotaan.
Rasanya sudah lama sekali, pikir Fachri. Ia memain-mainkan tiga batu kecil yang ada di telapak tangannya, lalu melempar salah satunya.
Pikirannya kembali kepada Pierre. Fachri hampir yakin bahwa kakaknya tidak ingin tinggal di Deanville selamanya. Ia hampir yakin Pierre ingin meninggalkan rumah. Terkadang ketika mereka sedang mengobrol, Pierre akan menceritakan beberapa kota favoritnya dan bagaimana ia akan sangat senang jika bisa membuka sebuah usaha toko di sana. Saat memikirkan tentang itu, Fachri sering merasa ini semua tidak adil. Dirinya dan Pierre hanya berbeda dua tahun, tetapi kakaknya itu sudah banyak melihat dunia bahkan ketika dia masih jauh lebih muda.
“Tidak hanya kau yang punya mimpi besar,” bisik Fachri kepada angin yang berhembus. Ia melempar satu batu lagi.
Berbeda dengan kakaknya, Fachri ingin tahu dan belajar lebih banyak hal. Ia sering bertanya-tanya bagaimana rasanya hidup di wilayah yang lebih beragam, lebih ramai, sepenuhnya berbeda dengan tempat dirinya dibesarkan, orang-orang yang berbeda, bersekolah di dalam suatu bangunan. Dalam beberapa kesempatan, benaknya akan menerka-nerka apa yang ada di balik perbukitan itu. Apa yang bisa ditawarkan rasa ingin tahunya terhadap dirinya sendiri.