Miss Marie sedang membuka kiosnya ketika Fachri berjalan menghampirinya. Wanita itu mendongak dari konter yang sedang ia rapikan. “Kau datang lebih awal.”
Fachri meletakkan dua kotak berisi botol-botol susu di atas konter. “Matahari terbit lebih awal, orang-orang bangun lebih pagi saat musim panas,” balasnya sambil tersenyum.
Ekspresi Miss Marie menjadi lebih ramah. “Well, apa yang kau punya di sana?” tanyanya. Ia mendekat untuk melihat apa yang dibawa Fachri.
“Berlusin botol susu, seperti biasa. Dan,” Fachri membungkuk, lalu mengangkat satu keranjang rotan tertutup kain. “Ini dia pesananmu. Kue keju berlapis krim dan pai susu dengan potongan buah apel. Aku menabur sedikit bubuk kayu manis di atasnya.” Ia mengangkat setengah kain itu untuk memperlihatkan isi keranjangnya.
Binar muncul di kedua mata Miss Marie, membuat wajahnya terlihat lebih muda. Ia menyatukan kedua tangannya. “Bagus sekali,” ujarnya dengan senyum lebar. “Aku selalu tahu ibumu memiliki bakat memanggang kue. Dan aku sangat menyukai kue buatannya. Sudah kubilang kepadamu, Mrs. Blanchet seharusnya mempertimbangkan untuk membuka toko kue.”
“Aku sudah pernah memberitahunya.” Fachri bersandar pada konter. “Tapi dia berkata nanti tidak ada yang mengurus rumah. Sesuatu tentang Ibu belum bisa membagi waktu untuk hal lain, dan masih meragukan apakah dia mampu melakukannya seorang diri.”
Miss Marie berdecak. “Ah, sayang sekali.” Ia menyibak kain penutup itu, membiarkan aroma krim lapis dan susu menguar di antara mereka. “Bagaimana dengan adikmu, Rue? Aku yakin dia pasti bisa membantu.”
Fachri tertawa. “Yeah, Rue sepertinya menyukai ide tersebut. Tapi itu tidak akan terjadi. Mengingat betapa ceroboh dan suka berubah-ubah dengan cepat suasana hatinya.”
“Bagaimana dengan Pierre? Usianya tidak terlalu jauh darimu, bukan?”
Mendengar nama kakaknya disebut, air muka Fachri berubah sedikit masam. Ia mencecap-cecap mulutnya, sudut bibirnya agak turun ke bawah. Pemuda itu menyangga berat tubuhnya dengan siku.
Satu alis terangkat. “Ada apa? Apa kau baru saja bertengkar dengannya?” tanya Miss Marie. Ia mengeluarkan kue dan pai dari dalam keranjang. “Yang mana yang mau kau coba terlebih dulu?”
“Pai seharusnya bagus,” jawab Fachri. “Tidak, kami tidak bertengkar. Hanya saja aku semakin tidak sabar dengannya. Aku mengantarnya sampai perbatasan beberapa minggu yang lalu, dan dia bilang akan kembali esok harinya, tapi ternyata dia baru sampai di rumah seminggu kemudian. Dua minggu lalu, dia pergi ke ibukota lagi bersama Jean. Sementara dia tahu bahwa aku juga sangat ingin pergi dan menunggu momen ketika dia mengajakku. Akhir pekan lalu dia baru tiba dari desa sebelah, dan dua hari ke depan akan segera berangkat lagi. Menyebalkan, bukan? Kenapa dia tidak kunjung memperbolehkan aku ikut pergi bersamanya?”
Hubungan antara Fachri dan Miss Marie dekat. Walaupun mereka tidak pernah bertemu di lain waktu selain di pasar, mereka sering bertukar cerita tentang keseharian masing-masing. Fachri pernah membawa sepotong besar kue buatan ibunya, yang kemudian ia bagi dengan Miss Marie. Dari sanalah wanita itu jatuh cinta pada kue buatan Mrs. Blanchet. Di satu sisi, pemuda itu juga senang mengobrol dengan Miss Marie, karena pembicaraan di antara mereka selalu mengalir dengan mudah.
Miss Marie hanya terkekeh. “Aku yakin Pierre tidak bermaksud untuk membuatmu kesal.” Ia berbalik ke bagian belakang kiosnya, lalu kembali dengan satu pisau kecil. “Tapi lagipula, jika kau pergi bersamanya ke luar kota, siapa yang akan mengantarkan susu untukku?”