Permasalahan dengan bangun terlalu pagi, terkadang kau bingung harus melakukan apa.
Fachri terbangun dari tidurnya bahkan sebelum matahari menampakkan wujudnya. Ia turun dan beranjak menuju jendela, mengangkat kusennya ke atas dan melongokkan kepala ke luar. Langit bahkan masih gelap, berwarna biru dongker. Kamarnya menghadap utara, maka dari itu ia tidak terlalu bisa melihat matahari terbit dari tepi jendelanya. Sambil menguap, ia meregangkan seluruh tubuhnya.
Keadaan di dalam rumahnya masih gelap dan senyap. Ibu juga akan baru bangun sekitar setengah jam lagi. Fachri mengambil gelas dan menuangkan air untuk dirinya. Setelah minum dan menyambar satu potong roti, ia berjalan menuju ruang tamu.
Obsesinya selama beberapa waktu belakangan ini adalah menatap pot bunga anggreknya. Fachri belum mengganti benih bunganya, karena ia masih berharap jika anggrek pertama yang ditanamnya akan bertumbuh. Ia sudah meletakkan potnya di dekat jendela yang menghadap ke arah timur, tetapi sampai hari ini pun belum ada tunas kecil yang tumbuh. Seharusnya posisi ini sudah ideal untuk bunga anggreknya memunculkan diri.
Fachri berdecak, tangannya terkepal di bawah dagu. Ia mengangkat bulu matanya. Kini warna biru dongker langit sudah terlihat agak lebih pucat. Ia mengambil topi baretnya dan memutuskan untuk pergi ke luar. Pemuda itu berdiri di halaman rumahnya sambil memandangi langit, lalu ia berbalik dan melangkah menuju rumah lumbung.
Rumah lumbung keluarga Blanchet besar, dengan kandang-kandang hewan ternak di bagian belakang dan tempat pengolahan susu. Fachri menaiki anak tangga ke lantai dua. Tidak ada apa-apa di sini selain tumpukan jerami dan perkakas, namun ada balkon yang cukup luas di bagian depannya. Fachri membuka pintu ganda kayu yang berada di sana, menariknya, dan membiarkan udara pagi musim panas dan langit tanpa batas menyambut dirinya.
Fachri duduk di atas sisa-sisa jerami kering. “Nah, ini bagus,” gumamnya sambil menyamankan diri. Kepala dan punggungnya bersandar pada tumpukan jerami.
Balkon rumah lumbung menghadap ke arah timur, jadi Fachri akan mendapatkan pemandangan matahari terbit beberapa menit lagi. Ia duduk bersandar di sana, dengan satu kaki berada di atas kaki yang lain dan kedua tangan berada di belakang kepalanya. Suasana di sekitarnya hening, ia hanya seorang diri di sini. Mata cokelat pemuda itu menatap jauh ke depan, melewati warna-warna lembut yang mengelilingi sang surya di langit, mengiringi setiap detik kedatangannya.
Fachri membiarkan pikirannya mengembara. Ia tahu, ada satu sisi di dalam dirinya yang tidak menginginkan semua itu. Tidak ingin dikenal, tidak ingin banyak berinteraksi, tidak ingin harus berbicara. Tumbuh besar di dalam keluarga yang banyak, lalu menghabiskan masa remajanya dengan menjadi tukang antar ke segala penjuru desa dan membangun hubungan baik dengan semua orang, membuatnya mendambakan ruang untuk dirinya sendiri lebih dari apapun. Tetapi di sisi lain ia juga tahu, dirinya juga memiliki banyak ruang. Fachri memiliki ruang yang sama seperti semua anak muda di Deanville, bahkan mungkin kesempatan-kesempatan yang diperolehnya lebih baik daripada mereka. Lantas, ruang apa yang sebenarnya selama ini ia inginkan?
Terkadang Fachri merasa bersalah. Dengan semua hal yang sudah dimilikinya, kenapa semua itu bahkan tidak cukup?
Pandangannya terus kembali kepada perbukitan jauh di luar pagar perbatasan. Dari balkonnya, perbukitan itu hampir tidak terlihat.
“Tidak ada apa-apa di sini,” gumam pemuda itu. Ia mengambil sehelai jerami dan memutar-mutarnya di antara jemarinya. “Aku tahu aku tidak seharusnya mengatakan itu. Tapi ketika semuanya sunyi di pikiran dan sekitarku, hanya hal itu yang selalu kupikirkan.”
Sinar matahari menyentuh rambut dan kelopak matanya, dan pemuda itu mendongak. Ia menyipitkan mata. Matahari sudah muncul, tepat berada di hadapannya, bermandikan cahaya-cahaya lembut.
Fachri tersenyum tipis. “Aku bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi sepertimu, begitu besar dan bersinar tapi sendirian di seluruh alam semesta ini,” ujarnya pelan.
“Engkau benar-benar ingin mengetahui bagaimana rasanya?”
Bahu Fachri menegang, punggungnya menjadi lebih tegak. Bola matanya membulat.
“Jikalau begitu, izinkanlah aku untuk mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu.”
Siapa yang berbicara? Fachri membatin, ekspresinya was-was. Jelas sekali suara itu bukan dari dalam kepalaku. Lumbung ini tidak berhantu, kan…
“Aku bukanlah hantu. Mereka semua sedanglah tidur saat ini.”
Pandangan Fachri masih tertunduk ke bawah. Ia tidak tahu siapa yang berbicara dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia berteriak dan lari sekarang juga?
“Engkau tidaklah perlu berteriak. Dan juga tidaklah perlu berlari.”
Fachri memejamkan kedua matanya sekarang. Baiklah, aku tidak tahu otakku dapat berbicara dengan begitu lantang…