Awalnya, Fachri tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sang Matahari. Tentu saja ia pergi ke lumbungnya pagi ini karena dirinya bangun terlalu pagi dan tidak tahu harus melakukan apa, ditambah bunga anggreknya juga belum tumbuh, maka dari itu Fachri naik ke atas balkon lumbung. Tetapi ia merasa sepertinya bukan jawaban itu yang seharusnya diberikannya kepada sang Matahari.
Di sisi lain, Fachri bukanlah pemuda yang suka neko-neko. “Aku tidak tahu apa jawaban yang kau harapkan, dan kurasa jawaban yang akan kukatakan kepadamu kau juga sudah bisa menebaknya. Aku bangun jauh lebih pagi hari ini.”
“Mengapakah kau bangun terlalu pagi hari ini?”
“Aku memang selalu bangun pagi. Dan sekarang musim panas, kurasa hal itu wajar terjadi.”
“Apakah yang kemudian kau lakukan setelah terbangun dari tidurmu?”
Fachri tidak mengerti mengapa sang Matahari ingin tahu rutinitas paginya yang membosankan, namun ia menjawab. “Aku membasuh wajah, lalu turun ke dapur untuk minum segelas air.” Ia berhenti sejenak. “Lalu keluar ke halaman, dan kemudian aku memutuskan datang kemari.”
“Apakah yang kau lakukan selama kau berada di atas sini?
“Aku duduk-duduk, memandang langit, berpikir,” jawab pemuda itu. Ia menelengkan kepalanya sedikit. “Lebih banyak berpikir.”
“Apakah yang selalu bersemayam di dalam pikiranmu?”
Bersemayam? “Yah, aku memikirkan banyak hal.”
“Apakah hal terakhir yang berada di dalam pikiranmu, sebelum aku menjawab dirimu?”
Kesadaran lain berlahan-lahan meresap ke dalam benak Fachri. Matanya terangkat. Sang Matahari sejak awal sudah merujuk kepada percakapan ini. Dirinya saja yang belum menyadari itu, dan malah bertanya-tanya mengapa sang Matahari malah menanyainya tentang bangun pagi. Tetapi apa yang tepatnya harus ia beritahu?
Sang Matahari menunggu.
Fachri membersihkan tenggorokannya. “Erh hm.”
Sang Matahari terlihat mulai meninggi di langit biru. Pukul berapa sekarang?
“Aku…” suara Fachri terhenti. Ia mendelik pada sang Matahari. “Aku baru sadar. Kau bisa membaca pikiran, ya?”
Sang Matahari tidak memiliki leher, namun ia menggeleng. “Tidak. Aku tidaklah mampu mengetahui apa yang berada di dalam pikiranmu. Aku mengenalmu.”
“Oke…”