Keesokan harinya, Fachri bangun terlambat. Ia terjaga sampai larut malam bersama Rafe untuk memperbaiki pagar-pagar istal dan mengganti kayunya dengan yang baru. Fachri terbangun sepuluh menit sebelum pukul tujuh, dan saat dirinya sampai di balkon ia menemukan tidak ada apa-apa di sana. Fachri menunggu selama lima belas menit dengan memandangi sang Matahari, tetapi sang Matahari tidak pernah menjawabnya.
Berita baiknya, bunga anggreknya akhirnya menunjukkan tanda kehidupan. Ada tunas kecil hari ini di atas tanah potnya. Karena itu, wajah Fachri berseri-seri dan senyumnya merekah sangat lebar. Rue sampai bertanya-tanya apakah kakaknya terlalu banyak mengonsumsi gula pagi ini. Sembari bersenandung, pemuda itu dengan sigap langsung memberikan tunas kecilnya sedikit air.
“Akhirnya, bunga anggrekku tumbuh juga,” katanya kepada Miss Marie. Ia membungkuk untuk mengambil dua botol susu. “Untung saja aku tidak langsung mengganti benihnya dengan yang baru seperti saran si pemilik toko bunga. Calon bunga anggrek pertamaku layak mendapatkan kesempatan.” Fachri menyusun botol-botol susunya dengan rapi di konter kios Miss Marie.
Miss Marie menghentikan pekerjaannya membersihkan debu dengan kemoceng. Ia memerhatikan Fachri yang sedang bersiul. “Kau memang tampak sangat senang.”
Fachri mendongak kepadanya. Pemuda itu nyengir. “Aku memang sangat senang.”
Miss Marie mengalihkan pandangannya, kembali membersihkan kios. “Beritahu aku, Fachri. Apa yang membuatmu suka sekali dengan bunga anggrek ini?”
“Tidak ada alasan khusus,” jawab pemuda itu. “Bunga itu yang pertama kali menarik perhatianku ketika aku berkunjung ke toko bunga beberapa minggu yang lalu.” Ia berpikir sejenak. “Mungkin karena warnanya.”
“Kau memilih warna apa?”
“Ungu magenta. Tentu saja.”
“Hm hm,” gumam Miss Marie. “Maksudku, anggrek biasanya bukan menjadi pilihan favorit orang-orang di sekitar sini untuk ditanam. Mereka biasanya lebih menyukai bunga peony atau mawar.” Ia menyimpan kemocengnya di belakang kios. “Maka dari itu, menurutku unik sekali bagimu untuk memilih anggrek.”
Fachri bersandar pada kios. “Ibuku juga menanam bunga peony di halaman rumah kami.”
“Peony, tulip, daisy, sering terlihat di rumah-rumah dan toko. Banyak orang menyukai perpaduan dari jenis-jenis bunga tersebut.” Miss Marie memberitahu. “Saudara perempuanku juga memiliki kebun kecil yang ditanaminya khusus untuk berbagai macam bunga.”
“Wah, aku ingin melihatnya. Saudara perempuanmu tinggal di mana?” tanya Fachri.
“Kau tidak dapat menemuinya,” kata Miss Marie. Ia tersenyum ketika seorang wanita datang menghampiri kiosnya, lalu ia membungkuk dan memberikan pesanan wanita itu. “Saudara perempuanku tinggal di luar kota. Cukup jauh dari Deanville.”