Fachri and The Sun

Fann Ardian
Chapter #9

Two Sides of The Coin

Tepat pukul lima pagi, Fachri meluncur turun dari lantai dua rumahnya. Ia bangun sekitar lima belas menit yang lalu dan memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu, langsung pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka dan membersihkan diri. Ia mengenakan kemeja putih longgar dan celana bahan panjang. Pemuda itu membiarkan rambut cokelatnya tetap acak-acakan. 

Yang mengejutkannya, Mrs. Blanchet ternyata juga sudah bangun dan sudah berpenampilan rapi di ruang makan. Dia sedang mengelap meja panjang.

“Oh. Selamat pagi, Bu,” sapa Fachri kepada ibunya ketika ia melambatkan langkahnya di anak tangga terakhir. 

Mrs. Blanchet mendongak. “Selamat pagi, Nak,” balasnya lembut.

Fachri melangkah mendekatinya.

“Tidak biasanya kau sudah rapi sekali pada pukul ini. Matahari bahkan baru akan terbit beberapa menit lagi,” kata ibunya. “Ada sesuatu yang hendak kau lakukan?”

Tidak mungkin Fachri mengatakan kepada ibunya bahwa ia berniat menemui sang Matahari. “Tidak ada, hanya ingin lekas mandi saja. Aku akan ke pasar pukul 8 nanti.”

Mrs. Blanchet hanya mengangguk. “Karena kau sudah bangun, kau ingin apa untuk sarapan pagi ini?” tanyanya tanpa mendongak dari meja yang masih dibersihkannya. 

“Daging asap, telur, dan alpukat sepertinya bagus.”

“Kau ingin aku menaburi lada pada dagingmu lebih banyak?”

Fachri nyengir. “Tentu saja. Lada membuat banyak masakan menjadi lebih lezat.” 

Mrs. Blanchet melipat kain lapnya. “Baiklah. Aku akan menyeduh teh dan menyiapkan sarapan kalian. Rue meminta susu hangat untuk menemani sarapannya.”

“Aku akan pergi ke lumbung, kalau begitu,” ujar Fachri kepada ibunya, lalu melenggang menuju pintu depan rumah. Di tengah perjalanan, langkahnya terhenti. Haruskah ia menanyai perihal itu kepada Ibu? Fachri menoleh melewati bahunya. Ibunya masih di sana, belum beranjak ke dapur. Saat ini tidak ada siapa-siapa, tidak ada Ayah atau saudara-saudaranya yang akan mendengarkan atau memberi komentar. Fachri menggigit bibir atasnya. 

Pemuda itu berbalik. Ia mendekati meja makan. “Ibu,” panggilnya.

Mrs. Blanchet mengangkat bulu matanya, memperlihatkan matanya yang berwarna keemasan. Ada ekspresi bertanya di wajahnya.

“Apakah menurutmu… bolehkah aku pergi ke luar kota?” tanya Fachri, setengah tidak percaya pada dirinya sendiri karena mampu mengeluarkan kalimat itu lebih mudah dari yang disangkanya. “Maksudku aku sekarang sudah besar. Aku bisa membantu untuk mengirimkan barang ke luar kota. Memang belum 18 tahun, tapi aku merasa bisa melakukannya.” 

Mrs. Blanchet terdiam sejenak. Ia memerhatikan putra ketiganya dengan lebih seksama. “Kau ingin pergi, Fachri?”

Yeah,” jawab pemuda itu, ada gumpalan kecil tersekat di tenggorokannya. Kenapa setelah selama ini, dirinya masih saja harus merasa bersalah untuk meminta sesuatu? 

Kenapa dirinya harus merasa bersalah?

“Tapi itu sekarang pekerjaan Pierre,” tutur ibunya, dan Fachri bisa merasakan hatinya mencelus. “Dan dia sudah berpengalaman mengurus segala distribusi tersebut. Aku tidak melihat alasan mengapa kau harus melakukannya.”

Fachri terdiam, mulutnya terasa kebas. Bagaimana cara ibunya mengatakan itu, seolah-olah mengatakan jika tempatnya memang di sini. Di Deanville, bersama keluarganya. 

Dan bukan di mana pun lagi. 

“Ah, yeah, kurasa kau benar.” Alih-alih mendorong keinginannya, kalimat itu yang malah keluar dari mulut Fachri. “Yah, baiklah, aku akan pergi ke lumbung sekarang.”

Sebelum membuka pintu rumah, Fachri berhenti sebentar di jendela untuk melihat bunga anggreknya. Tunas kecil itu sekarang sedikit lebih tinggi daripada kemarin pagi. Senyum merekah di wajah Fachri. Ia menyentuh daun tunasnya, membelainya dengan hati-hati. Melihat pertumbuhan bunga anggrek itu sudah cukup untuk menghibur suasana hatinya.

Sang Matahari belum sepenuhnya terbit dari balik perbukitan ketika Fachri berjalan melintasi halaman rumah. Dia tidak lebih dari sebuah bola cahaya kemerahan yang mengambang di langit pagi berpadukan warna kekuningan, merah muda, dan biru pucat. Fachri naik ke lantai atas lumbung dan membuka pintunya, melangkah menuju balkon. Sosok sang Matahari sudah lebih terlihat sekarang, dan dia memiliki wajah. 

“Apakah kau menunggu sampai aku tiba di sini, baru saat itu kau menunjukkan wajahmu?” tanya Fachri langsung tanpa berbasa-basi. Ketika ia hendak duduk di tumpukan jerami, pemuda itu baru menyadari seharusnya dirinya menyapa terlebih dulu.

Lihat selengkapnya