Fachri sedang menggulung lengan kemejanya ketika ia melihat Rue tengah berdiri di depan jendela ruang tamu. Adik perempuannya itu hanya termenung di sana, wajahnya agak menunduk ke bawah memandang jendela. Fachri mengenakan topinya dan berjalan menghampiri Rue.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya. Ia menundukkan kepalanya dan menggerakkan bola matanya ke atas melihat ke luar, mencoba mencari tahu apa yang sedang diperhatikan Rue.
“Bunga anggrekmu mati.”
Gerakan bola mata Fachri terhenti. Ia langsung mengambil dua langkah cepat dan berdiri di samping Rue. Pandangannya seketika terarah pada pot kayu kecil yang ditaruh di sebelah jendela.
“Aku sedang menyapu lantai ruang tamu ketika aku melihatnya.” Rue memberitahu. “Tunasnya tidak memiliki warna apapun lagi, yang tersisa hanya serpih-serpih kering berwarna cokelat. Dia layu begitu saja.” Ia menghela napas pelan, lalu menoleh pada kakak laki-lakinya. “Aku turut prihatin, Fachri. Aku juga ingin melihat bunga anggrekmu tumbuh.”
Setelah mengatakan itu, Rue berbalik dan meninggalkan Fachri yang masih terdiam menatap tunas anggreknya yang kini sudah tidak bernyawa.
***