“Aku telah mengasumsikan tidaklah akan pernah lagi melihatmu datang kemari setelah kau melayang pergi begitu saja tempo hari.” Sang Matahari berkata ketika Fachri menyelipkan tubuhnya di antara pintu ganda yang menuju balkon.
Fachri duduk di atas keranjang balok kayu. “Untuk catatan, aku tidak melarikan diri. Ibuku memanggil dari bawah lumbung dan aku harus menemuinya.” Fachri mengoreksi perkataan sang Matahari. “Aku hampir mengira dia mendengar seluruh percakapan kita dan menganggap aku berbicara seorang diri.”
Alis sang Matahari yang berupa garis tipis putih tampak terangkat sebelah. “Engkau tidaklah berusaha untuk menghindar karena tidaklah ingin menceritakan mengenai gadis Nicolette ini?”
Pemuda itu bisa merasakan kedua pipinya memanas, tetapi ia hanya menghela napas bosan. “Untuk catatan berikutnya, kalau aku tidak mau menceritakan tentang dia kepadamu aku tidak akan menyebut-nyebut namanya sejak awal.”
“Cukuplah masuk akal.”
Fachri mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Kini, kau dapatlah memulai kisah cintamu itu. Aku sudah menunggunya,” ujar sang Matahari.
Fachri berhenti mengusap wajah, ia menurunkan tangannya. “Aku tidak tahu kenapa kau sangat penasaran dengan hubunganku dan Nicolette,” ungkapnya. “Kau tahu bukan, setiap manusia pernah menjalin kedekatan dengan lawan jenis paling tidak satu kali dalam hidupnya?”
Sang Matahari mengangguk. “Tentu saja.”
“Hubunganku dulu dengan Nicolette tidak ada bedanya. Kami hanya remaja yang tertarik terhadap satu sama lain.”
“Mengapakah kau menekankan kata dulu?”
“Ya… karena kejadiannya terjadi di masa lalu. Sekarang hubungan kami sudah tidak seperti itu lagi.”
“Seberapakah masa lalunya hubungan kalian berdua ini sebagai sepasang kekasih manusia?”