Sebelum fajar menyingsing, Fachri sudah membersihkan diri dan naik ke atas balkon rumah lumbung. Ia berdiri menatap arah timur di mana sang Matahari akan segera menampakkan wujudnya. Ia mengepalkan satu tangan dan menggenggamnya dengan tangan yang lain. Pemuda itu berjalan mondar-mandir. Setelah sang Matahari mengangkat cerminnya, Fachri duduk dan mulai berbicara.
“Jadi, begini yang kupikirkan.” Fachri mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua siku bertumpu pada pahanya dan jemari tangannya saling terkait. “Aku akan menunggu sampai ulang tahunku yang ke-18 tahun, lalu aku pergi dari Deanville. Dan selama rentang waktu itu, aku akan mengumpulkan uang terlebih dulu untuk bekal dan modalku di tempat baru nanti. Aku menyadari aku juga membutuhkan uang yang cukup untuk perjalananku. Sekarang ini, aku sudah punya simpanan dari hasilku pekerjaanku sebagai tukang antar dari orang tuaku, memang baru sedikit. Aku memutuskan untuk pergi ke ibukota. Aku belum bisa benar-benar memastikan apa yang akan kulakukan di sana, tapi aku ingin belajar. Sepertinya aku akan melakukan keduanya, belajar dan bekerja,” jelasnya panjang lebar kepada sang Matahari.
“Mengapakah kau haruslah menunggu sampai usiamu beranjak 18 tahun? Apakah masih ada bagian di dalam dirimu yang merasakan keraguan dan tidaklah yakin untuk mengejar apa yang kau inginkan ini?” sang Matahari bertanya.
Fachri menggeleng. “Bukan begitu. Selama ini aku hanya selalu berangan-angan saja. Sangat mudah rasanya memimpikan berbagai hal, berkhayal kita mendapat dan mengalami semua itu dengan manisnya. Aku tidak pernah sungguh-sungguh menguraikan mimpiku menjadi sebuah langkah,” jawabnya. “Tapi sekarang aku memiliki rencana.”
“Engkau memberikan dirimu waktu untuk mewujudkannya.”
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk. “Yeah. Dan aku juga berharap dapat melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan begitu, aku akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengenal lingkungan yang baru, memahami kehidupan mereka, berkelana, atau memulai usahaku sendiri.”
Sang Matahari menatapnya. “Engkau tampaknya telah memikirkan segalanya secara masak-masak. Apakah yang memicu perubahan yang sebesar ini dengan begitu mendadak? Beberapa minggu yang lalu, kau bahkan takut untuk mengutarakan perasaanmu yang sesungguhnya.”
Wajah Fachri berubah serius. Ada kilas muram di kedua bola mata cokelatnya, tetapi ekspresinya tetap teguh.
“Sore kemarin, aku mengobrol dengan Pierre. Aku berharap dapat melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengannya, karena aku melihat dia juga memiliki mimpi yang serupa denganku. Aku bertanya apakah dia melihat dirinya sendiri berada di Deanville di masa depan. Pada mulanya dia menjawab dengan benar dan sungguh-sungguh, lalu tak lama kemudian dia malah menggodaku dan seluruh pembicaraan itu berubah menjadi lelucon,” ujar Fachri dengan nada masam. Sudut bibirnya berkedut sesaat.
Fachri melempar jerami yang sedang dipuntir-puntirnya. “Aku tidak menyukainya. Ketika seseorang menganggap apa yang kurasakan sebagai lelucon,” gumamnya, lirih tetapi tajam. “Lantas malamnya, saat aku sedang termenung di jendelaku memandang langit berbintang dan bulan yang bersinar, sesuatu membuatku tersadar. Jika Pierre tidak mau membantuku, maka aku akan melakukannya sendiri. Jika Pierre selalu memandang remeh impianku, biarlah, aku akan menemukan caraku sendiri. Aku memberitahu diriku sendiri bahwa aku hanya membutuhkan rencana yang matang dan jelas untuk mewujudkannya.”