Hari-hari berlalu dan kemudian berganti minggu, namun pertumbuhan bunga anggrek itu berjalan sangat lambat. Setiap Fachri mengecek anggreknya dari waktu ke waktu, hampir tidak ada perubahan yang berarti. Batangnya masih pendek, dan tunasnya masih terkuncup rapat. Fachri sempat khawatir apakah bunga anggreknya telah berhenti bertumbuh. Tetapi jika melihat posisinya yang masih berdiri dan daun mudanya yang tampak segar, kemungkinan itu sangat jauh. Di tambah pula, Fachri selalu memastikan anggreknya mendapatkan air dan sinar matahari yang cukup.
Bukan hanya Fachri, tetapi adiknya, Rue, juga ikut serta mengawasi pertumbuhan bunga anggrek itu.
Mungkinkah kau kurang memberikannya air?” tanya Rue. Tangannya terkepal di bawah dagu sembari ia mengamati batang dan daun anggrek itu. “Makanya pertumbuhannya melambat?”
“Tidak. Aku selalu menyiramnya tepat pada waktunya,” jawab Fachri. Kedua tangan berada di pinggangnya. “Aku bahkan memastikan ruangan ini tidak terlalu kering atau terlalu lembab, karena sekarang musim panas.”
“Hmmm.” Rue memiringkan kepalanya.
Di luar jendela, terlihat Rafe berjalan dari lumbung menuju beranda rumah. Ia melepas sepatunya yang kotor dan menggantinya dengan sepasang yang lain. Saat melewati ambang pintu depan, ia melihat dua dari tiga adiknya sedang berdiri diam sambil menatap jendela.
“Kalian sedang mengamati apa?” Rafe berhenti dua langkah setelah masuk ke rumah.
“Bunga anggrek,” jawab Fachri dan Rue serempak.
Mrs. Blanchet muncul dari dalam ruang makan, ia masih mengenakan celemek. “Ah, kalian sudah berkumpul rupanya. Rafe, mari bersiap untuk makan malam, kau sebaiknya membersihkan diri terlebih dahulu.” Pandangan wanita itu beralih pada kedua anak bungsunya. Meskipun ada tanda tanya pada ekspresi wajahnya saat melihat mereka, namun ia berkata, “Fachri, Rue, aku membutuhkan kalian di dapur. Rue, tolong rapikan meja dan siapkan hidangan pencuci mulut. Fachri, tolong seduh teh. Kau selalu membuat teh yang nikmat.”
Selain Rue, yang sudah jelas adalah anak perempuan bungsu satu-satunya, Mrs. Blanchet juga cenderung meminta bantuan Fachri untuk membantunya mengurus perihal makan dan juga beberapa pekerjaan rumah. Menurut Mrs. Blanchet, dua anak laki-laki sulungnya telah bekerja keras dan sudah sewajarnya ketika sampai di rumah diberikan kenyamanan yang baik. Berbeda dengan Rue dan Fachri, yang lebih muda, dan tentunya bertugas untuk menghormati yang lebih tua.
Mr. Blanchet adalah orang terakhir yang bergabung di meja makan. Ia menduduki kursinya di ujung meja yang menghadap kepada istri dan keempat anaknya. Setelah pria itu menaruh serbet di pangkuannya dan meraih alat makan di hadapannya, makan malam keluarga Blanchet pun dimulai.
“Hari ini aku bertemu seorang temanku dari Mareville.” Mr. Blanchet membuka pembicaraan. Sembari mengiris dada ayamnya, ia melanjutkan. “Dia bertanya apakah aku tertarik untuk membuka cabang peternakan baru di desanya.”
“Di mana Mareville itu?” tanya Rue. Ia menyuapkan potongan ayam ke dalam mulutnya.