Detik ini seharusnya aku sedang sibuk mengurus berkas di kantor tapi, orang tuaku memaksaku untuk pulang kampung dan menjalani pernikahan dengan pria yang bahkan belum pernah tertangkap bayangnya olehku. Sikap mereka wajar selagi usiaku tidak berpatut untuk menjadi lajang.
Menolak kedua orang tuaku tidaklah sukar hanya saja alasanku pupus termakan ragu. Kisah percintaanku yang berujung duka yang terus kuratapi pada akhirnya membuat kedua orang tuaku mengambil keputusan besar ini.
Ibuku bilang kalau mereka adalah sahabat dari keluarga saudara ibuku. Pada dasarnya bisa dikatakan kalau kami tidak kenal sama sekali dengan keluarganya tapi, ibuku menyetujui setelah musyarawarah panjang dengan keluarganya.
Didalam bangunan paling megah didesaku yaitu sebuah masjid yang cukup besar berwarna coklat dengan hiasan batu marmer disekitarnya. Lafaz yang tertulis ditepian tembok menemani orang-orang yang khusuk menikmati acara; suasana penuh hikmat mengisi.
Duduk dihadapan penghulu tertundukku sendiri dipisahkan oleh meja kecil bertaplak putik bersama tumpukan map. Keluargaku sempat gugup gugup dikarenakan keluarga sang pria tidak kunjung sampai.
Beberapa saat kemudian, keluarga calon suamiku datang. Rona wajah panik mereka membuat suasana sedikit riuh, keringat bercucuran menunjukan kalau mereka habis benar-benar terkena masalah.
Terdengar mereka meminta maaf karena mereka salah jalan sehingga mereka harus putar balik. Ini sangat rancu mengingat di jaman mbah google masih ada aja orang yang harus kesasar. Meskipun begitu pada akhirnya keluargaku yang sempat khawatir akhirnya bisa bernafas lega.
Diatur oleh keluargaku, mereka mengekor dimana mereka ditempatkan. Calon suamiku yang pada akhirnya bisa bersanding denganku dibawa sulaman tudung berwarna putih. Acara yang penuh khidmat ini pun dimulai.
Seketika susana khusuk mengunci bibir ditemani para malaikat yang menyaksikan suamiku tengah mengucap janjinya pada wanita yang tidak pernah bertemu pandang padanya. Tangannya bergetar, semilir angin yang berhembus tidak menghentikan peluh kami yang menetes.
“Saya terima nikahnya Maisa Nura Parveen bin Rahmat attar dengan mas kawin emas tunai” ucapnya.
“Bagaimana para saksi sah?”
“Saaaaaah”
“Alhamdulillah”
Semua orang bergembira. Sedangkan aku hanya diam saja tanpa ekspresi. Rasa bahagia tentu menyelimuti hatiku hanya saja kehadiran pria asing disampinku, mematuk rasa ragu. Dengan begini kisah cinta yang lalu tidak akan pernah lagi terpatri dalam hidupku lagi dan Latif menjadi kisah usang yang berdebu.
Setelah semua proses yang panjang itu. Bibirku mengecup lirih punggung tangan orang yang masih belum aku percaya bahwa kini dia adalah suamiku. Tangannya meraih kepalaku suara merdunya melantunkan sebuah doa yang sangat indah. Hatiku luluh dalam senandung kalimatullah, tidak hanya diriku namun semua orang yang ada disini.
Itulah untuk pertama kalinya aku yakin bahwa kini dia adalah suamiku dan dialah sosok yang akan menemaniku seumur hidupku. Mungkin. Aneh bukan? Seseorang yang asing tiba-tiba menjadi imamku dan surgaku terletak dikakinya.