Sepertinya dia mendengarkan pembicaraanku dengan keluargaku yang terus memaksa aku menghabiskan waktu lebih lama di desa. Selain itu aku juga ingin keluargaku membicarakan hal itu kepada keluarga Nuha agar mereka dapat memahamiku yang berkerja sebagai pemilik perusahaan.
Menarik tubuhku, bangun dari tidur dan duduk pada tepi ranjang. Mataku menatapnya dengan sangat serius. Melihatku seperti ini ia sempat tersentak karena kaget terlebih saat jarak kami semakin dekat.
“Aku harus ke Jakarta perkerjaanku numpuk disana. Apa kamu marah?” tanyaku lembut.
Tidak mungkin aku bertanya padanya hal ini dengan nada kasar. Ia yang biasa hidup dengan keluarganya pasti sangatlah sulit baginya untuk hidup tanpa mereka dan tinggal bersama orang asing yang memiliki sifat jauh berbeda.
“Gak, aku gak marah cumaaa aku ngerasa ini kecepetan. Aku mau disini dulu selama beberapa hari. Apa gak bisa?” pintanya.
“Maaf ya. Perkerjaanku banyak banget jadi, aku gak bisa kelamaan disini. Aku bakal nyoba selama mungkin yang aku bisa tapi, aku harap mas paham sama kondisi aku. Kalau kamu mau kamu bisa bawa keluarga kamu atau keputusan lainnya. Aku akan berusaha menerima itu tapi, bukan aku tinggal disini”
Terdiamnya terpaut dalam kebimbangan, sebelum bibir manisnya itu berkata lirih; “Keluarga kamu sendiri gimana?”
“Mereka akan ikut ke Jakarta sampai adikku selesai libur sekolah. Setelah itu mereka akan kembali ke rumah ibuku sendiri”
“Kenapa kamu gak tinggal bareng sama keluarga kamu?”
“Aku orang yang berbeda dengan kebanyakan perempuan. Kamu bakalan ngerti kalau kamu tinggal sama aku cukup lama. Aku gak tau kamu semakin suka aku atau benci aku. Semoga beruntung!” ujarku sambil mengacunginya jempol dan menyemangatinya.
Wajahnya terkejut melihat perkataan dan tingkahku yang tidak singkron. Tangannya menggosok tengkuk lehernya. Otaknya semakin berfikir keras. Tidak menemukan klue yang bagus akhirnya ia pun berpaling dariku.
“Hm, aku mau mandi dulu”
“Ya”
Mengambil handuk. Ia pergi membasuh dirinya. Sementara aku kembali berbaring menunggunya selesai mandi. Mungkin ada banyak pertanyaan yang ingin ia utarakan tapi, hari ini bukanlah saat yang tepat.
Tidur terlentang, mataku menatap lampu berwarna putih yang terletak tepat ditengah ruangan. Cahaya itu mulai kabur. Sayup-sayup berlahan lelap membawaku pergi menuju nirwana.
-o0o-
“Waaaaa”
Jeritku melihat sesosok pria asing yang muncul tiba-tiba disaat mataku terbuka. Gelapnya ruangan menyembunyikan wajah si pemilik tangan yang mencoba mengusap rambutku. Secepat kilat tubuhku menghindarinya. Menjauh dari sosok mahluk yang keheranan menatapku.
Buk.
Tubuhku terjatuh pada lantai keramik putih yang dingin. Kedua kakiku masih tertinggal di kasur. Rasanya pinggangku sakit sekai. Sosok seorang pria asing yang menampakan dirinya, berlari menghampiriku, membantuku bangun dari kerasnya lantai yang menghantam punggungku.
“Nura, apa kamu gak papa?”
Pingggangku sakit sekali. Kepalaku juga benjol. Masih pagi buta tapi, sial sudah menghampiriku bertubi-tubi. Merintihku sambil terus memegang pinggangku.