Di rumah mertuaku, tidak adil rasanya kalau aku hanya memperdulikan orang tuaku saja jadi, aku menemui kedua orang tuanya sekaligus menjelaskan permasalahan yang ada. Aku berharap mereka mengerti tentang apa yang aku inginkan.
Sebenarnya mertuaku sudah tau sedikit banyak tentang kehidupanku sebagai seorang yang memiliki perkerjaan di Jakarta tapi, tetap saja bagiku meminta ijinnya sangatlah penting. Bagaimana pun mereka adalah orang yang hidup bersama suamiku lebih lama dari pada aku.
Sepertinya mertuaku tidak memiliki masalah besar dalam hal ini. Dia juga memahami saat ini anaknya adalah kepala keluarga jadi, keputusan yang ia buat adalah keputusan yang terbaik keluarganya. Terlebih banyak anggota keluarga yang tinggal disini jadi, ibunya tidak begitu kesepian.
Ada perasaan bersalah karena harus memisahkan kasih sayang ibu dan anak ini. Terlebih Nuha adalah orang yang terlihat paling keberatan biarpun dibibirnya dia setuju. Aku tidak bisa mengatakan banyak karena aku yang memintanya.
Masuk kedalam kamar yang sudah ia gunakan selama berpuluh-puluh tahun. Kamar kecil dengan jendela yang besar ini terdapat rak buku yang berisikan berbagai buku yang bertuliskan bahasa arab dan juga alphabet. Aku tidak tau aku bisa menyentuhnya tanpa berwudhu atau tidak jadi, aku hanya menatapnya.
Beberapa buku disini tertulis tanpa harakat. Aku bahkan tidak tau apa yang tertulis pada buku ini. Dia mungkin tipe orang yang sangat rajin sampai ngapusin semua harkatnya. Bagaimana cara bacanya?
“Apa kamu suka?” tanyanya lembut.
Selembut apa pun pertanyaan yang keluar dengan tiba-tiba tetap mengejutkanku.
“Ah” teriakku kaget. Berbalikku menatapnya yang tengah memperhatikan aku “aku aja gak tau ini tulisannya apa”
“Kalau kamu mau, aku bisa ngajarin kamu”
“Haish, aku gak yakin. Ada banyak hal yang harus aku lakuin. Aku gak yakin bisa ngelakuinnya”
“Aku gak maksa kamu. Aku cuma nanya, aku tau kamu selalu aja sibuk dan mungkin kamu bakal kesulitan sendiri”
“Aku punya suami hebat jadi, lebih mudah nanyain ke suami aku daripada buku”
Pujianku terhadap dirinya memalingkan wajahnya dariku, menutupi rasa malu yang tertanam pada wajahnya. tangannya mulai merapikan tempat tidurnya. Aku hanya menatapnya tanpa membantunya melihatnya seperti ini, sangat menyenangkan.
“Hm” jawabnya sambil tersenyum.
Senyumannya memupuk rasa bersalahku. Ini terdengar seperti alasan dibandingkan jawaban. Sebenarnya bisa saja aku belajar padanya tapi, aku ragu otakku mampu menafsirkan itu semua.
“Maaf”
Permintaan maafku membuatnya terdiam sejenak. Tangannya yang merapikan bantal terhenti, menegakkan tubuhnya. Ia menatapku, melihatku seperti itu bukanlah kata yang biasa dia dengar.
“Untuk?”
“Bikin alesan itu”
“Aku tau kamu pasti sibuk, aku pikir kita gak perlu ngelakuinnya terburu-buru. Aku gak mau hubungan kita semakin canggung”
“Maaf”
“Aku suka.. hm, saat kamu bilang maaf” ucapnya. Wajahnya kembali berpaling dan entah kenapa rasa malu mengisi atmonsfer kamar ini dengan pekat.
Senyuman kecil yang berasal dari bibirnya dibarengi dengan wajahnya yang memerah. Membingungkanku. Kenapa dia ngelakuin itu? Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu sampai dia bersikap seperti itu?