FAHRI, MALAIKAT KECIL KAMI YANG MENGARUNGI BADAI HISPRUNG

Mada Elliana
Chapter #1

Gema Takbir dan Tangisan Pertama

Udara di koridor rumah sakit pada dini hari itu terasa dingin, namun di dalam ruang bersalin, kehangatan bercampur ketegangan memuncak. Bersama gema takbir, tangisan melengking memecah keheningan. Itulah saatnya Fahri Athaya Putra hadir ke dunia.

Aroma antiseptik rumah sakit yang khas, yang sebelumnya terasa menusuk, kini seolah bercampur dengan wangi manis harapan. Bagi Rina, ibu Fahri, aroma itu akan selamanya terkait dengan momen transformatif ini. Setelah berjam-jam perjuangan, tubuhnya terasa lelah namun jiwanya dipenuhi euforia yang tak terlukiskan. Ia tak peduli pada rambutnya yang lepek atau bajunya yang basah oleh keringat, satu-satunya fokusnya adalah sosok mungil yang kini berada di pelukannya.

Kemudian, tatapan pertama Rina jatuh pada Fahri. Mata bundar kecil itu terbuka sebentar, seolah berusaha memahami dunia baru yang begitu asing. Ada kedalaman yang tak terduga dalam tatapan itu, sebuah janji akan kisah yang baru dimulai. Kulit Fahri masih kemerahan, lembut seperti kelopak mawar, dan bibir mungilnya sedikit mengerucut. Rina tak henti-hentinya mengagumi setiap detail, dari jari-jari mungilnya yang sempurna hingga helai-helai rambut hitam tipis di kepalanya.

Sentuhan pertama adalah sentuhan paling murni yang pernah ia rasakan. Ketika perawat meletakkan Fahri di dadanya, kehangatan tubuh mungil itu merambat, mengisi setiap pori-porinya dengan kebahagiaan yang meluap. Detak jantung Fahri yang cepat beresonansi dengan detak jantungnya sendiri, menciptakan melodi simfoni kehidupan. Rina mengelus punggung Fahri dengan lembut, merasakan keajaiban penciptaan. Air mata kebahagiaan tak terbendung mengalir di pipinya, membasahi kepala mungil Fahri.

Di sisi ranjang, Satria, ayah Fahri, berdiri tegak dengan mata berkaca-kaca. Setelah Fahri dibersihkan, ia segera mengambil alih, mendekap putranya dengan hati-hati. Dengan suara yang masih sedikit serak karena haru, ia membisikkan adzan di telinga kanan Fahri. Kata-kata suci itu, yang mengandung makna keesaan Tuhan, seolah menjadi doa dan harapan pertama yang mengiringi langkah Fahri di dunia ini. Suara Satria memenuhi ruangan, meresap ke dalam sanubari Fahri, sebuah janji akan bimbingan dan perlindungan. Adzan itu bukan hanya sebuah ritual, melainkan sebuah deklarasi cinta dan tanggung jawab.

***

Menjadi orang tua adalah sebuah titik balik, sebuah lonceng yang menandai dimulainya babak baru kehidupan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi Rina dan Satria, momen itu adalah badai emosi yang kompleks namun indah. Kebahagiaan meluap tak terkira. Ada kelegaan yang mendalam karena Fahri lahir dengan selamat dan sehat, sebuah syukur tak henti-hentinya kepada Tuhan. Namun, di balik itu, terselip pula kecemasan yang halus. Mampukah mereka menjadi orang tua yang baik? Mampukah mereka memenuhi semua kebutuhan Fahri?

Ketakutan akan hal yang tidak diketahui adalah bagian tak terpisahkan dari peran baru ini. Dunia mereka yang dulu berpusat pada diri sendiri kini bergeser total, sepenuhnya berputar di sekitar makhluk mungil yang rapuh ini. Tidur malam yang teratur menjadi barang mewah, dan jadwal harian diatur ulang sesuai dengan tangisan dan kebutuhan makan Fahri. Namun, setiap pengorbanan terasa begitu kecil dibandingkan dengan senyum pertama Fahri, atau jari mungilnya yang menggenggam erat jari mereka.

Di tengah kelelahan, ada kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Setiap hari adalah penemuan baru. Mereka belajar untuk memahami tangisan Fahri. Apakah ia lapar, butuh diganti popok, atau sekadar ingin dipeluk. Mereka belajar untuk mengenali ekspresi wajahnya yang berubah-ubah, dari cemberut karena tidak nyaman hingga senyum tanpa gigi yang membanjiri hati mereka dengan kehangatan. Cinta itu tumbuh, tidak meledak tiba-tiba, tetapi merambat pelan dan pasti, mengisi setiap sudut hati mereka hingga meluap.

Lihat selengkapnya